Legenda: “Asal Usul Terjadinya Kota Banyuwangi” (Cerita Rakyat Jawa Timur)

Diposting pada

Berikut adalah salah satu cerita rakyat Provinsi Jawa Timur yaitu legenda “Asal usul terbentuknya atau sejarah terjadinya kota banyuwangi” yang dikisahkan secara turun temurun.

Sering pula dilantunkan sebagai sebuah dongeng untuk pengantar tidur anak-anak.

Alkisah dahulu pada suatu masa, terdapatlah sebuah kerajaan di bagian timur pulau jawa.

Penduduk yang berada di kerajaan ini memiliki taraf hidup yang baik karena dipimpin oleh raja yang baik pula.

Sang raja memiliki seorang anak laki-laki atau pangeran. Dia adalah penerus kerajaan dan menjadi harapan bagi keluarga raja.

Nama putra raja tersebut adalah Raden Banterang.

Raden Banterang sangat sering berburu, karena dia menyukai kegiatan ini. Hingga pada suatu hari Putra Raja ini menyuruh pengawalnya untuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk pergi berburu.

Kemudian berangkatlah Raden Banterang disertai beberapa pengiringnya berangkat ke hutan.

Mereka terus berjalan, semua menelusuri hutan dengan arah pandangan masing-masing.

Tak diduga, ketika Raden Banterang berjalan sendirian, ia melihat seekor kijang melintas di depannya.

Ia segera mengejar kijang itu hingga masuk jauh ke hutan. Ia terpisah dengan para pengiringnya.

Raden Banterang terus mengejar kijang tadi, tapi ternyata kijang tersebut bergerak cepat sehingga sang raden kehilangan jejak buruannya

Dia terus mencari, berjalan kesana kemari, bahkan berlari dengan cepat. Hingga Raden Banterang menerobos semak belukar dan pepohonan hutan.

Berbagai usaha sudah dia lakukan, tapi binatang buruan itu tidak ditemukan. Matanya masih melihat ke kiri dan kanan, ke depan dan ke belakang.

Raden akhirnya merasa haus dan sampailah pada di sebuah sungai yang sangat bening airnya.

Dia sangat kagum melihat air yang jernih dan kelihatan bersih segar.

Dengan segera Raden Banterang minum air sungai itu, sampai merasa hilang dahaganya. Sekarang dia merasakan kesegaran yang luar biasa.

Beberapa saat kemudian dia pun berniat meninggalkan sungat tersebut. Tapi baru saja beberapa langkah berjalan, tiba-tiba dikejutkan kedatangan seorang gadis cantik jelita.

Raden Banterang sangat heran melihat kejadian yang tidak diduga ini. Dia mengira bahwa gadis ini sangatlah cantik, sehingga membuatnya ragu apakah gadis tersebut benar-benar manusia.

Dia diam sejenak, kemudian sang raden memberanikan diri mendekati sang gadis dan menanyakan apakah dia adalah betul-betul manusia.

Dengan raut muka yang sedikit takut, sang gadis pun menjawab bahwa dia adalah manusia. Bukanlah mahluk kayangan atau penunggu hutan.

Mendengar jawaban itu, lalu Raden Banterang pun memperkenalkan dirinya. Gadis cantik itu menjawab dengan sopan, Kemudian mereka pun berkenalan.

Sang gadis memperkenalkan diri bahwa namanya adalah Surati yang berasal dari kerajaan Klungkung.

Dia pun melanjutkan cerita dan asal mula dia berada di hutan ini.

Dia menceritakan bahwa dia berada di tempat ini karena menyelamatkan diri dari serangan musuh. Wajah sang gadis terlihat sangat sedih.

Dengan wajah sedih dia mengisahkan bahwa ayahnya telah gugur dalam mempertahankan mahkota kerajaan dan membela rakyatnya.

Setelah mendengar ucapan gadis itu, Raden Banterang menjadi sangat terkejut.

Melihat penderitaan puteri Raja Klungkung itu, Raden Banterang segera menolong dan mengajaknya pulang ke istana.

Akhirnya mereka sampai di istana Raden Banterang. Hari demi hari berlalu, mereka pun makin lama makin akrab. Mereka saling bercerita dan berbagi kisah.

Setelah saling merasa cocok, maka tak lama kemudian mereka pun menikah. Kedua pasangan ini pun merasa sangat berbahagia, karena memiliki rumah tangga yang penuh cinta.

Pada suatu hari puteri Raja Klungkung berjalan-jalan sendirian ke luar istana. Tiba-tiba dia mendengar suara seorang laki-laki yang memanggil namanya.

Awalnya sang putri merasa ragu dan heran karena laki-laki tersebut hanya berpakaian compang-camping.

Tapi laki-laki tersebut terus memanggil namanya.

Sang putri pun mulai berfikir, mungkin orang ini kenal dengan dirinya. Lalu dia pun mengamati wajah lelaki itu.

Setelah memperhatikan dengan seksama, akhirnya sang putri baru sadar bahwa yang berada di depannya adalah kakak kandungnya bernama Rupaksa.

Mereka pun saling bicara. Kemudian Rupaksa menceritakan tentang maksud kedatangan Rupaksa adalah untuk mengajak adiknya untuk membalas dendam, karena Raden Banterang telah membunuh ayahandanya.

Demikian juga Surati, dia juga menceritakan bahwa ia mau diperistri Raden Banterang karena telah berhutang budi.

Dengan begitu, Surati tidak mau membantu ajakan kakak kandungnya.

Mendengar cerita Surati, sang kakak Rupaksa menjadi marah mendengar jawaban adiknya.

Tapi karena sadar bahwa adiknya berada dalam dilema, dia pun menjadi maklum.

Dengan bijaknya, Rupaksa pun berniat untuk pergi lagi.

Dia pun sempat memberikan sebuah kenangan berupa ikat kepala kepada Surati.

Rupaksa pun berpesan pada adiknya bahwa ikat kepala ini harus kau simpan di bawah tempat Surati adiknya.

Untunglah perjumpaan Surati dengan kakak kandungnya tidak diketahui oleh Raden Banterang, dikarenakan Raden Banterang sedang berburu di hutan.

Tanpa diduga, ketika Raden Banterang berada di tengah hutan, tiba-tiba pandangan matanya dikejutkan oleh kedatangan seorang lelaki berpakaian compang-camping.

Lelaki itu pun berkata: “Tuangku, Raden Banterang. Keselamatan Tuan terancam bahaya yang direncanakan oleh istri tuan sendiri”

Dia pun menjelaskan: “Tuan bisa melihat buktinya, dengan melihat sebuah ikat kepala yang diletakkan di bawah tempat peraduannya.

Ikat kepala itu milik lelaki yang dimintai tolong untuk membunuh Tuan”

Kemudian setelah menyampaikan hal itu, lalu lelaki berpakaian compang-camping itu hilang secara misterius.

Terkejutlah Raden Banterang mendengar laporan lelaki misterius itu.

Setelah itu Raden Banterang memutuskan untuk segera pulang ke istana. Setelah tiba di istana, Raden Banterang langsung menuju ke tempat tidur istrinya.

Raden Banterang kemudian mencari ikat kepala yang telah diceritakan oleh lelaki berpakaian compang-camping yang telah menemui di hutan.

Dia pun berkata pada istrinya: “Ha! Benar kata lelaki itu! Ikat kepala ini sebagai bukti!

Kau merencanakan mau membunuhku dengan minta tolong kepada pemilik ikat kepala ini!”

“Begitukah balasanmu padaku?” tandas Raden Banterang.”

Sang istri pun menjawab dengan tenang: “Jangan asal tuduh. Adinda sama sekali tidak bermaksud membunuh Kakanda, apalagi minta tolong kepada seorang lelaki!”

Tapi sayang, Raden Banterang tetap pada pendiriannya, bahwa istrinya yang pernah ditolong itu akan membahayakan hidupnya.

Nah, sebelum nyawanya terancam, Raden Banterang lebih dahulu ingin mencelakakan istrinya.

Kemudian Raden Banterang mempunyai niat jahat. Dia punya rencana untuk menenggelamkan istrinya di sebuah sungai.

Setelah tiba di sungai, Raden Banterang menceritakan tentang pertemuan dengan seorang lelaki compang-camping ketika berburu di hutan.

Mendengar itu, Sang istri pun menceritakan tentang pertemuan dengan seorang lelaki berpakaian compang-camping seperti yang dijelaskan suaminya.

“Lelaki itu adalah kakak kandung Adinda. Dialah yang memberi sebuah ikat kepala kepada Adinda,”

Surati menjelaskan kembali, agar Raden Banterang luluh hatinya.

Tapi apa dikata, Raden Banterang tetap percaya bahwa istrinya akan mencelakakan dirinya. Dia masih tetap marah dan murka.

“Kakanda suamiku! Bukalah hati dan perasaan Kakanda! Adinda rela mati demi keselamatan Kakanda.

Tetapi berilah kesempatan kepada Adinda untuk menceritakan perihal pertemuan Adinda dengan kakak kandung Adinda bernama Rupaksa,” ucap Surati mengingatkan.

Surati pun melanjutkan: “Kakak Adindalah yang akan membunuh kakanda! Adinda diminati bantuan, tetapi Adinda tolak!”

Walau sudah mendengar pernyataan yang jujur dari istrinya, hati Raden Banterang tidak cair bahkan menganggap istrinya berbohong.

“Kakanda ! Jika air sungai ini menjadi bening dan harum baunya, berarti Adinda tidak bersalah!

Tetapi, jika tetap keruh dan bau busuk, berarti Adinda bersalah!” seru Surati.

Dengan murkanya, Raden Banterang menganggap ucapan istrinya itu mengada-ada.

Maka, Raden Banterang segera menghunus keris yang terselip di pinggangnya. Bersamaan itu pula, Surati melompat ke tengah sungai lalu menghilang.

Beberapa saat kemudian, lalu terjadi sebuah keajaiban. Bau wangi dan harum merebak di sekitar sungai.

Melihat kejadian itu, Raden Banterang berseru dengan suara gemetar.

Raden Banterang pun hanya bisa bersedih dan berkata: “Istriku tidak berdosa! Air kali ini harum baunya!” Hatinya terasa hancur.

Raden Banterang merasa sangat menyesal. Kemudian dia menangis sekeras-kerasnya mendapati istrinya sudah meninggal.

Sekarang dia jadi sadar, bahwa atas kesombongan dan kebodohannya telah membuatnya kehilangan istri yang baik dan berbakti.

Tapi semua sudah terlambat, dia hanya menyesal setelah semuanya terjadi. Sekarang dia tidak bisa lagi bertemu dengan istrinya yang cantik.

Mulai saat itu, sungai tersebut tetap menjadi wangi dan harum baunya. Jadi masyarakat menyebutnya sungai wangi, atau dalam bahasa jawa disebut Banyuwangi.

Kata banyu berarti air, dan kata wangi artinya harum. Dari perpaduan 2 kata tersebut terbentuklah kata Banyuwangi, yang merupakan nama dari Kota Banyuwangi di Provinsi Jawa Timur.