Abdul Muis (Sastrawan dan Pujangga)

Diposting pada

Tim indoSastra

Profil sastrawan ini data awalnya diambil dari lembaga pemerintahan Indonesia, ini berdasarkan “Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik”Data tersebut kemudian diolah supaya lebih mudah dibaca.

Abdul Muis atau Abdoel Moeis dikelompokkan sebagai Sastrawan Angkatan Balai Pustaka.

Sastrawan, pejuang, dan wartawan kreatif Minangkabau ini lahir pada tanggal 3 Juni 1883 di Bukittinggi, Sumatra Barat.

Riwayat pendidikan beliau yaitu dimulai dari Sekolah Eropa Rendah (Eur. Lagere School atau yang sering disingkat ELS).

Kemudian Abdul Muis juga pernah belajar di Stovia selama tiga setengah tahun (1900–1902).

Tapi sayang karena saat itu beliau sakit, akhirnya keluar dari sekolah kedokteran tersebut.

Hingga pada tahun 1917 ia  pergi ke negeri Belanda untuk menambah pengetahuannya.

Walau hanya berijazah ujian amtenar kecil (klein ambtenaars examen) dan ELS, Abdul Muis memiliki kemampuan berbahasa Belanda yang baik.

Bahkan, menurut orang Belanda, kemampuan Abdul Muis dalam berbahasa Belanda dianggap melebihi rata-rata orang Belanda.

Oleh karena itu, begitu keluar dan Stovia, ia diangkat oleh Mr. Abendanon, Directeur Onderwzjs (Direktur Pendidikan) di Departement van Onderwijs en Eredienst yang membawahi Stovia, menjadi kierk.

Padahal pada waktu itu belum ada orang pribumi yang diangkat sebagai kierk.  Abdul Muis merupakan orang indonesia pertama yang dapat menjadi kierk.

Pengangkatan Abdul Muis menjadi kierk tidak disukai oleh pegawai Belanda lainnya.

Hal itu  membuat Abdul Muis tidak betah bekerja.

Akhirnya, pada tahun 1905 ia keluar dan departemen itu setelah bekerja  selama lebih kurang dua setengah tahun (1903– 1905).

Setelah keluar dari Department van Onderwzjs en Eredienst sebagai kierk hingga akhir hayatnya, Abdul Muis sempat menekuni berbagai macam pekerjaan, baik di bidang sastra, jurnalistik. maupun politik.

Bidang pekerjaan yang pertama kali diterjuninya adalah bidang jurnalistik.

Lalu pada tahun 1905 ia juga  diterima sebagai anggota dewan redaksi majalah Bintang Hindia, sebuah majalah yang banyak memuat berita politik di Bandung.

Karena pada tahun 1907 Bintang Hindia dilarang terbit, Abdul Muis pindah kerja ke Bandungsche Afdeelingsbank sebagai mantri lumbung.

Pekerjaan itu ditekuninya selama lima tahun, sebelum ia diberhentikan dengan hormat (karena cekcok dengan controleur) pada tahun 1912.

Beliau kemudian bekerja di De Prianger Bode, sebuah surat kabar (harian) Belanda yang terbit di Bandung, sebagal korektor,

Dalam tempo tiga bulan, ia diangkat menjadi hoofdcorrector (korektor kepala) karena mempunyai kemampuan berbahasa Belandanya yang baik.

Hingga pada tahun 1913 Abdul Muis keluar dan De Prianger Bode. Sebagai pemuda yang berjiwa patriot, ia mulai tertarik pada dunia politik dan masuk  ke Serikat Islam (SI).

Bersama dengan mendiang A.H. Wignyadisastra, Ia dipercaya memimpin Kaum Muda, salah satu surat kabar milik SI yang terbit di Bandung.

Pada tahun itu, atas inisiatif dr. Cipto Mangunkusumo, Abdul Muis (bersama dengan Wignyadisastra dan Suwardi Suryaningrat) membentuk

Komite Bumi Putra untuk mengadakan perlawanan terhadap maksud Belanda mengadakan perayaan besar-besaran seratus tahun kemerdekaannya serta

untuk mendesak Ratu Belanda agar memberikan kebebasan bagi bangsa Indonesia dalam berpolitik dan bernegara.

Pada zaman pergerakan, bersama dengan H.O.S. Cokroaminoto, Abdul Muis berjuang memimpin Serikat Islam.

Pada tahun 1917 ia dipercaya sebagai utusan SI pergi ke negeri Belanda untuk mempropagandakan Comite Indie Weerbaar.

Pada tahun 1918, sekembalinya dan negeri Belanda, Abdul Muis  pindah bekerja ke harian Neraca karena Kaum Muda telah diambil alih oleh Politiek Economische Bond, sebuah gerakan politik Belanda di bawah pimpinan Residen Engelenberg.

Pada tahun 1918  Abdul Muis menjadi anggota dewan Volksraad (Dewan Rakyat Jajahan).

Perjuangan Abdul Muis ternyata tidak hanya berhenti sampal di situ. Bersama dengan tokoh lainnya, Abdul Muis terus berjuang menentang penjajah Belanda.

Pada tahun 1922, misalnya, ia memimpin anak buahnya yang tergabung dalain PPPB (Perkumpulan Pegawal Pegadaian Bumiputra) mengadakan pemogokan di Yogyakarta.

Setahun kemudian, ia  memimpin sebuah gerakan memprotes aturan landrentestelsel (Undang-Undang Pengawasan Tanah) yang akan diberlakukan oleh Belanda di Sumatra Barat.

Protes tersebut berhasil. Landrentestelsel pun urung diberlakukan. Di samping itu, ia juga masih tetap memimpin harian Utusan Melayu dan Perobahan. 

Melalui kedua surat kabar tersebut ia terus melancarkan serangannya.

Oleh pemerintah Belanda tindakan Abdul Muis tersebut dianggap dapat mengganggu ketenteraman dan ketertiban masyarakat.

Oleh karena itu, pada tahun 1926 Abdul Muis ‘dikeluarkan’ dari daerah luar Jawa dan Madura.

Akibatnya, selama lebih kurang tiga belas tahun (1926–1939) Ia tidak boleh meninggalkan Pulau Jawa.

Meskipun tidak boleh meninggalkan Pulau Jawa, tidak berarti Abdul Muis berhenti berjuang.

Ia kemudian mendirikan harian Kaum Kita di Bandung dan Mimbar Rakyat di Garut. Namun, kedua surat kabar tersebut tidak lama hidupnya.

Di samping berkecimpung di dunia pers, Abdul Muis tetap aktif di dunia politik.

Pada tahun 1926  Serikat Islam mencalonkannya  (dan terpilih) menjadi anggota Regentschapsraad Garut.

Enam tahun kemudian (1932) ia diangkat menjadi Regentschapsraad Gontroleur. Jabatan itu diembannya hingga Jepang masuk ke Indonesia (1942).

Di masa pendudukan Jepang, Abdul Muis masih kuat bekerja meskipun penyakit darah tinggi mulai menggerogotinya.

Ia, oleh Jepang, diangkat sebgai pegawai sociale zaken ‘hal-hal kemasyarakatan’.

Karena sudah merasa tua, pada tahun 1944 Abdul Muis berhenti bekerja. Namun, pada zaman pascaproklamasi, ia aktif kembali dan ikut bergabung dalam Majelis Persatuan Perjuangan Priangan.

Bahkan, ia pernah pula diminta untuk menjadi anggota DPA.

Bakat kepengarangan Abdul Muis sebenarnya baru terlihat setelah Ia bekerja di dunia penerbitan, terutama di harian Kaum Muda yang dipimpinnya.

Dengan menggunakan inisial nama  A.M., ia menulis hanyak hal.

Salah satu di antananya adalah roman sejarahnya,  Surapati. Sebelum diterbitkan sebagai buku, roman tersebut dimuat sebagal feui/.leton ‘cerita bersambung’ di harian Kaum Muda.

Sebagai sastrawan, Abdul Muis kurang produktif. Ia menghasilkan empat buah novel/roman dan beberapa karya terjemahan.

Namun, dari karyanya yang sedikit itu, Abdul Muis tercatat indah dalam sejarah sastra Indonesia.

Karya besarnya, Salah Asuhan, dianggap sebagal corak baru penulisan prosa pada saat itu.

Jika pada saat itu sebagian besar pengarang selalu menyajikan tema lama: pertentangan kaum tua dengan kaum muda, kawin paksa, dan adat istiadat, Salah Asuhan menampilkan masalah konflik pribadi: dendam, cinta, dan cita-cita.

Sejak masih remaja, ia sudah berani meninggalkan kampung halamannya, merantau ke Pulau Jawa. Bahkan, masa tuanya pun dihabiskannya di perantauan.

Ia adalah putra Datuk Tumenggung Lareh, Sungai Puar. Seperti halnya orang Minangkabau, Abdul Muis juga memiliki jiwa petualang yang tinggi.

Hingga akhirnya ketika beliau berusiala 76 tahun, atau pada tanggal 17 Juni 1959, Indonesia kehilangan sastrawan, pejuang, dan wartawan kebanggan. Beliau meninggal di Bandung Jawa Barat.

Jenazahnya dimakamkan di Taman Pahlawan Cikutra, Bandung. Beliau meninggalkan 2 orang istri dan 13 orang anak.

Karya-karya Abdul Muis:

  1. Tom Sawyer Anak Amerika (terjemahan karya Mark Twain, Amerika), Jakarta:Balai Pustaka, 1928
  2. Sebatang Kara (terjemahan karya Hector Malot, Prancis), Cetakan 2, Jakarta:Balai Pustaka, 1949
  3. Hikavat Bachtiar (saduran cerita lama), Bandung:Kolff, 1950
  4. Hendak Berbalai, Bandung:KoIff, 1951
  5. Kita dan Demokrasi, Bandung:Kolff, 1951
  6. Robert Anak Surapati, Jakarta:Balai Pustaka, 1953
  7. Hikayat MordechaiPemimpin Yahudi, Bandung:Kolff. 1956
  8. Kurnia, Bandung:Masa Baru, 1958
  9. Pertemuan Djodoh (Cetakan 4), Jakarta:Nusantana, 1961
  10. Surapati. Jakarta:Balai Pustaka, 1965
  11. Salah Asuhan, Jakarta:Balai Pustaka, 1967
  12. Cut Nyak Din: Riwayat Hithip Seorang Putri Aceh (terjemahan karya Lulofs, M.H. Szekely), Jakarta:Chailan Sjamsoe, t.t.
  13. Don Kisot (terjemahan karya Cervantes, Spanyol)
  14. Pangeran Kornel (terjemahan karya Memed Sastrahadiprawira, Sunda)
  15. Daman Brandal Sekolah Gudang, Jakarta:Noordhoff, t.t.

Sumber: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan