Nugroho Notosusanto (Sastrawan dan Pujangga)

Diposting pada

Tim indoSastra

Profil sastrawan ini data awalnya diambil dari lembaga pemerintahan Indonesia, ini berdasarkan “Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik”Data tersebut kemudian diolah supaya lebih mudah dibaca.

Nugroho Notosusanto dikelompokkan sebagai Sastrawan 1950 – 1960 an.

Nama lengkap beliau adalah Brigadir Jenderal TNI (Purn.) Prof. Dr. Raden Panji Nugroho Notosusanto.

Sastrawan ini lahir pada tanggal 15 Juli 1930 di Rembang, Jawa Tengah. Ayah Nogroho bernama R.P. Notosusanto yang mempunyai kedudukan terhormat,

yaitu seorang ahli hukum Islam, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, dan seorang pendiri UGM.

Riwayat pendidikan beliau adalah  Europese Legere School (ELS) yang tamat pada tahun1944, kemudian menyelesaikan SMP di Pati, Tahun 1951 tamat SMA di Yogyakarta.

Setelah tamat SMA, ia masuk Fakultas Sastra, Jurusan Sejarah, Universitas Indonesia, dan tamat tahun 1960. Tahun 1962 ia memperdalam pengetahuan di bidang Sejarah dan Filsafat di University of London.

Waktu tamat SMA, sebagai seorang prajurit muda, ia dihadapkan pada dua pilihan, yaitu meneruskan karier militer dengan mengikuti pendidikan perwira atau menuruti apa yang diamanatkan ayahnya untuk menempuh karier akademis.

Ayahnya dengan tekun dan sabar mengamati jejaknya. Setelah 28 tahun, keinginan ayahnya terkabul, yaitu Nugroho dikukuhkan sebagai guru besar FSUI.

Namun, ayahnya tidak dapat menyaksikan karena ayahnya telah wafat pada tanggal 30 April 1979. Selain itu, ia juga berkarier di militer.

Pada tahun 1977 ia memperoleh gelar doktor dalam ilmu sastra bidang sejarah dengan tesis “The Peta Army During the Japanese Occupation in Indonesion”,

yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Tentara Peta pada Zaman Pendudukan Jepang di Indonesia,

yang diterbitkan oleh penerbit Gramedia pada tahun 1979. Nugroho mendapat pendidikan di kota besar, seperti, Malang, Jakarta, dan Yogyakarta.

Kakak Nugroho adalah seorang pensiunan Patih Rembang dan kakak tertua ayah Nugroho adalah pensiunan Bupati Rembang. Nugroho adalah anak pertama dari tiga bersaudara.

Waktu Nugroho sedang giat-giatnya dalam gerakan mahasiswa, ia berkenalan dengan Irma Sawitri Ramelan (Lilik).

Perkenalan itu kemudian diteruskan ke jenjang perkawinan pada tangal 12 Desember 1960 di Hotel Indonesia.

Istri Nugroho adalah keponakan istri Prof. Dr. B.J. Habibie. Dari perkawinan itu mereka dikaruniai tiga orang anak, yang pertama bernama Indrya Smita tamatan FIS UI, yang kedua Inggita Sukma, dan yang ketiga Norottama.

Ia adalah menteri keempat di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada masa Orde Baru yang meninggal dunia dalam masa tugasnya.

Pengalaman Nugroho Notosusanto di bidang kemiliteran, adalah sebagai angota Tentara Pelajar (TP) Brigade 17 dan TKR Yogyakarta.

Sejak Nugroho menjadi anggota redaksi harian Kami, ia semakin menjauh dari dunia sastra, akhirnya ia tinggalkan sama sekali.

Ia kemudian beralih ke dunia sejarah dan tulisannya mengenai sejarah semakin banyak.

Pada tahun 1967, Nugroho mendapatkan pangkat tituler berdasarkan SK Panglima AD No. Kep. 1994/12/67 berhubungan dengan tugas dan jabatannya di AD.

Sejak tahun 1964, ia menjabat Kepala Pusat Sejarah ABRI. Ia juga menjadi anggota Badan Pertimbangan Perintis Kemerdekaan serta aktif dalam herbagai pertemuan ilmiah di dalam dan di luar negeri.

Pada tahun 1981 namanya disebut-sebut berkenaan dengan bukunya Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara.

Buku itu menimbulkan polemik di berbagai media massa. Bahkan, banyak pula yang mengecam buku itu sebagai pamflet politik.

Di bidang pendidikan Nugroho memegang peranan penting. Ia pernah menjadi Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan FSUI dan menjadi Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan, UI.

Tahun 1971-1985 Nugroho menjadi wakil Ketua Harian Badan Pembinaa Pahlawan Pusat.

Ketika Nugroho dilantik menjadi Rektor UI, ia disambut dengan kecemasan dan caci maki para mahasiswa UI.

Mahasiswa menganggap Nugroho adalah seorang militer dan merupakan orang pemerintah yang disusupkan ke dalam kampus untuk mematikan kebebasan kehidupan mahasiswa.

Pada tanggal 15 Januari 1982 Nugroho dilantik menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dalam Kabinet Pembangunan IV.

Ia dikenal sebagai orang yang kaya ide.

Semasa menjadi menteri, ia mencetuskan banyak gagasan, seperti konsep wawasan almamater, pendidikan sejarah perjuangan bangsa, dan pendidikan humaniora.

Di samping itu, ia banyak jasanya dalam dunia pendidikan karena ia yang mengubah kurikulum dengan menghapus jurusan di SMA, dan mencetuskan sistem seleksi penerimaan mahasiswa baru (sipenmaru).

Walaupun Nugroho hanya dua tahun menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, banyak hal yang telah digarapnya, yaitu UT sebagai perguruan tinggi negeri yang paling bungsu di Indonesia.

Program Wajib Belajar, Orang Tua Asuh, dan pendidikan kejuruan di sekolah menengah.

Nugroho adalah satu-satunya menteri yang mengeluarkan Surat Keputusan tentang Tata Laksana Upacara Resmi dan Tata Busana Perguruan Tinggi.

Akan tetapi, sebelum SK ini terlaksana Nugroho telah dipanggil Tuhan Yang Maha Esa.

Puncak pengakuan atas sumbangan Nugroho terhadap bangsa Indonesia adalah diberikannya Bintang Dharma, Bintang Gerilya, Bintang Yudha, Dharma Naraya, dan Satyalencana Penegak.

Akan tetapi, sayang dia telah mendahului kita menghadap Tuhan Yang Maha Esa.

Nugroho dikenal sebagai penulis produktif. Di samping sebagai sastrawan dan pengarang, ia juga aktif menulis buku ilmiah dan makalah dalam berbagai bidang ilmu.

Buku terjemahannya yang diterbitkan berjumlah dua puluh satu judul. Buku itu sebagian besar merupakan lintasan sejarah dan kisah perjuangan militer.

Karena wawasannya yang mendalam mengenai sejarah perjuangan ABRI, dia mampu mengedit film yang berjudul “Pengkhianatan G.30S/PKI.”

Dalam bidang keredaksian ia pernah memimpin majalah Gelora, menjadi pemimpin redaksi Kompas, anggota dewan redaksi Mahasiswa bersama Emil Salim tahun 1955-1958, menjadi ketua juri hadiah sastra, dan menjadi pengurus BMKN.

Sewaktu di perguruan tinggi ia menjadi koresponden majalah Forum, dan menjadi redaksi majalah Pelajar.

Nugroho juga aktif dalam berbagai pertemuan ilmiah, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Dalam tahun 1959-1976 Nugroho menghadiri pertemuan ilmiah internasional sebanyak empat kali.

Nugroho digolongkan sebagai sastrawan Angkatan 66, sedangkan oleh Ajip Rosidi digolongkan sebagai sastrawan angkatan baru (periode 50-an).

Di antara pengarang semasanya, Nugroho dikenal sebagai penulis esai. Sebagian besar pengarang waktu itu hanya menulis cerpen dan sajak, tetapi Nugroho banyak menulis esai, terutama tentang sastra dan kebudayaan.

Tulisannya antara lain berisi pembelaan para sastrawan muda. Ketika terdengar suara tentang krisis kesusastraan, Nugroho Notosusanto tertarik dalam dunia sastra Indonesia.

Nugroho memprakarsai simposium sastra FSUI pada tahun 1953, yang kemudian dijadikan tradisi tahunan sampai tahun 1958.

Bakat Nugroho dalam mengarang sudah terlihat ketika ia masih kecil.

Ia mempunyai kesenangan mengarang cerita bersama Budi Darma. Cerita Nugroho selalu bertema perjuangan.

Pada waktu itu Republik Indonesia memang sedang diduduki oleh Belanda.

Dari cerita yang ditulis Nugroho waktu itu, tampak benar semangat nasionalismenya. Menurut ayahnya, Nugroho mempunyai jiwa nasionalisme yang besar.

Sebagai sastrawan, pada mulanya Nugroho menulis sajak dan sebagian besar karyanya itu dimuat di harian Kompas.

Karena tidak pernah mendapat kepuasan dalam menulis sajak, Nugroho kemudian mengkhususkan diri sebagai pengarang prosa, terutama cerpen, dan esai.

Karyanya pernah dimuat di berbagai majalah dan surat kabar seperti Gelora, Kompas, Mahasiwa, Indonesia, Cerita, Siasat, Nasional, Budaya, dan Kisah.

Di samping itu, Nugroho juga menghasilkan karya terjemahan, yaitu Kisah Perang Salib di Eropa (1968) dari Dwight D. Eisenhower, Crusade in Europe, Understanding Histotry: A Primer of Historical Method,

dan terjemahan tentang bahasa dan sejarah, yaitu Kisah daripada Bahasa (1971) (Mario Pei, The Story of Language) dan Mengerti Sejarah.

Karena Nugroho cukup lama bertugas dalam militer, ia dapat membeberkan peristiwa militer, perang,

dan suka duka kehidupan, seperti dalam cerpennya yang berjudul “Jembatan”, “Piyama”, “Doa Selamat Tinggal”, “Latah”, “Karanggeneng’, “Nini”, dan “Mbah Dukun”.

Kumpulan cerpen Hujan Kepagian berisi enam cerita pendek yang semuanya menceritakan masa perjuangan menghadapi agresi Belanda.

Buku itu memberi gambaran berbagai segi pengalaman manusia yang terjadi dalam peperangan.

Bukunya yang berjudul Tiga Kota berisi sembilan cerita pendek yang ditulis tahun 1953-1954.

Judul Tiga Kota diambil karena latar cerita terjadi di tiga kota, yaitu Rembang, Yogyakarta, dan Jakarta, kota yang paling banyak memberinya inspirasi untuk lahirnya cerita.

Rembang melatari cerita kenangan “Mbah Danu”, “Penganten”, dan “Tayuban”.

Yogyakarta dan Jakarta melatari cerita “Jeep 04-1001 Hilang” dan “Vickers Jepang.”

Dalam cerpen tersebut penulis mengalami peristiwa yang dituturkannya. Sehingga cerpen tersebut kelihatan hidup.

Dalam seminar kesusastraan yang diselenggarakan oleh FSUI tahun 1963, Nugroho membawkan makalahnya yang berjudul “Soal Periodesasi dalam Sastra Indonesia.”

Ia mengemukakan bahwa sesudah tahun 50 ada periode kesusastraan baru yang tidak bisa lagi dimasukkan ke dalam periodisasi sebelumnya.

Menurut Nugroho, pengarang yang aktif mulai menulis pada periode 50-an adalah mereka yang mempunyai tradisi Indonesia sebagai titik tolaknya, dan juga mempunyai pandangan yang luas ke seluruh dunia.

Nugroho meninggal dunia hari Senin, 3 Juni 1985, pukul 12.30, di rumah kediamannya karena serangan pendarahan otak akibat tekanan darah tinggi.

Ia meninggal dunia pada bulan yang mulia bagi umat Islam, yaitu pada bulan Ramadan, dan di kebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

Karya-karya Nugroho Notosusanto:

a. Cerpen yang Dibukukan

  1. Hidjau Tanahku, Hidjau Badjuku. (1963).
  2. Hudjan Kepagian. (1958).
  3. Rasa Sayange. (1961).
  4. Tiga Kota. (1959).

b. Cerpen dalam Majalah

  1. “Pondok di Atas Bukit”. (Kompas)
  2. “Teratak”. (Kompas)
  3. “Sebuah Pertemuan”. (Kompas)
  4. “Eksekusi” (Majalah Nasional)
  5. “Gunung Kidul”. (Majalah Nasional)
  6. “Jeep 04-1001 Hilang”. (Kisah)
  7. “Konyol”. (Majalah Nasional)
  8. “Pembalasan Dendam”. (Majalah Nasional)
  9. “Ideal Type”. (Kisah)
  10. “Mbah Danu”. (Kisah)
  11. “Nokturne”. (Kisah)
  12. “Piyama”. (Kisah)
  13. “Puisi”. (Kisah)
  14. “Raden Satiman”. (Kisah)
  15. “Vickers Jepang”. (Kisah)
  16. “Jembatan”. (Kisah)
  17. “Partus”. (Mimbar Indonesia)
  18. “Senyum”. (Majalah Nasional)
  19. “Setan Lewat”. (Mimbar Indonesia)
  20. “Panser”. (Siasat)
  21. “Tangga Kapal”. (Forum)
  22. “Kepindahan”. (Siasat)
  23. “Piano”. (Siasat)
  24. “Ular”. (Siasat)
  25. “Karanggenang”. (Siasat)
  26. “Latah”. (Siasat)
  27. “Sungai”. (Budaya)
  28. “Bayi”. (Femina)
  29. “Alun”. (Kompas)
  30. “Jerit di Malam Kelam”. (Majalah Nasional)
  31. “Pesan di Malam yang Penuh Bintang”. (Majalah Nasional)
  32. “Rancangan Requiem”. (Kompas)
  33. “Sebuah Pagi”. (Majalah Nasional)
  34. “Sepotong Kenangan”. (Majalah Nasional)
  35. “Sesal”. (Kompas)
  36. “Tiwikraina”. (Majalah Nasional)
  37. “Adios Yogya”. (Majalah Nasional)
  38. “Amerta”. (Majalah Nasional)
  39. “Bali”. (Budaya)
  40. “Longka Pura”. (Majalah Nasional)
  41. “Sebuah Malam Minggu”. (Majalah Nasional)

Sumber: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan