Syekh Nuruddin al-Raniri (Sastrawan dan Pujangga)

Diposting pada

Syekh Nuruddin al-Raniri dikelompokkan sebagai Sastrawan Angkatan Pujangga Lama.

Syekh Nuruddin al-Raniri mempunyai nama lengkap Syeikh Nuruddin Muhammad ibnu ‘Ali ibnu Hasanji ibnu Muhammad Hamid ar-Raniri al-Quraisyi.

Beliau lahir pada sekitar akhir abad ke-16 di kota Ranir (sekarang disebut Randir), Gujarat, pantai barat India.

Ayahnya, Ali ar-Raniri, adalah imigran di Ranir yang berasal dari Tarim, Hadramaut, sedangkan ibunya diketahui adalah perempuan Melayu.

Syekh Nuruddin al-Raniri adalah seorang sastrawan, pemikir, ulama, cendikiawan, dan ahli tasawuf atau sufi.

Ilmu agama beliau sangat berpengaruh, bukan hanya di Aceh, tapi Sumatra, bahkan di Asia Tenggara.

Pendidikan beliau yang diawali dengan berguru di Gujarat kepada Syekh Ba Syaiban, Syekh Tarekat Rifa’iyah.

Lalu beliau meneruskan belajar ke Tarim, Hadramaut Yaman Selatan.

Syekh Nuruddin berhasil menjadi ulama besar yang berpengetahuan luas dan tercatat sebagai Syekh Tarekat Rifa’iyah dan bermazhab Syafi’i dalam bidang Fikih.

Pada 1621 ia berada di Mekah dan Madinah dalam rangka menunaikan ibadah haji.

Mengenai kapan waktu pertama kali beliau datang ke Aceh, masih menjadi pertanyaan dan perdebatan.

Berdasarkan kemahirannya menulis dan berbahasa Melayu dan adanya karangan yang berbahasa Melayu yang ditulis sejak 1633,

maka banyak ahli yang memperkirakan bahwa beliau masuk ke Aceh pada tahun 1620.

Saat itu beliau menelaah paham Wujudiyah (tasawuf falsafi) yang sedang dikembangkan oleh Syekh Syamsuddin As-Sumatrani dan gurunya Syekh Hamzah Al Fansuri.

Syekh Syamsuddin As Sumatrani adalah mufti pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda.

Faham Wujudiyah (tasawuf falsafi) berdasarkan pada ajaran Al-Hallaj, Ibn ‘Arabi, dan Suhrawardi,

yaitu dengan ciri doktrin Wihdatul Wujud (Menyatunya Kewujudan) di mana sewaktu dalam keadaan sukr (‘mabuk’ dalam kecintaan kepada Allah Ta’ala)

dan fana’ fillah (‘hilang’ bersama Allah), seseorang wali itu mungkin mengeluarkan kata-kata yang lahiriahnya sesat atau menyimpang dari syariat Islam.

Ini berakibat pada orang-orang yang ilmunya rendah dan tidak mengerti hakikat ucapan-ucapan tersebut, dan dapat membahayakan akidah dan menimbulkan fitnah pada masyarakat Islam.

Karena individu-individu tersebut syuhud (‘menyaksikan’) hanya Allah sedang semua ciptaan termasuk dirinya sendiri tidak wujud dan kelihatan.

Setelah Syekh Syamsuddin wafat dan Iskandar Tsani menjadi Sultan, Nuruddin datang lagi ke Aceh.

Tak lama kemudian ia diangkat menjadi Mufti oleh Sultan Iskandar Tsani (Iskandar II).

Syeikh Nuruddin menentang keras faham wujudiyah (tasawuf falsafi) Syeikh Syamsuddin Sumatrani serta gurunya Syeikh Hamzah Fansuri, walaupun beliau sendiri mengakui ketinggian ilmu Syekh Syamsuddin

Kurang lebih selama tujuh tahun dalam jabatannya sebagai mufti, beliau sering berdebat dengan pengikut paham Wujudiyah, dengan tujuan agar pengikut paham tersebut meninggalkan pahamnya.

Tidak berhasil membujuk pengikut paham Wujudiyah agar kembali ke akidah yang murni,

Syeikh Nuruddin yang didukung oleh Sultan memerintahkan kitab-kitab karangan Syeikh Syamsuddin dan Syeikh Hamzah untuk dibakar. Karena dianggap membahayakan aqidah umat.

Sebagai solusi dan alternatif bagi faham wujudijah, lalu Syeikh Nuruddin banyak menulis kitab-kitab yang dipergunakan sebagai rujukan di Kerajaan Aceh saat itu.

Bahkan pengikut Syeikh Hamzah dan Syeikh Syamsuddin dikejar-kejar, dan banyak yang harus masuk penjara ataupun meninggalkan bumi Aceh dan bahkan ada pula yang sampai dihukum mati.

Ada alasan kenapa ada sikap keras Syekh Nuruddin, ternyata dilatarbelakangi oleh pengalaman masa kecilnya yang penuh intimidasi.

Karena beliau hidup di tengah komunitas Hindu di Desa Ranir dimana mayoritas Hindu tidak mengenal sedikitpun toleransi dengan penganut agama dan paham apapun.

Syekh Nuruddin Al Raniri meninggal dunia pada tanggal 21 September 1658. Menurut beberapa ahli sejarah, beliau wafat di India.

Karya-karya dan Jasa Syekh Nuruddin Al Raniri:

Nuruddin adalah sastrawan, ulama, dan sang sufi yang berpengetahuan luas dan produktif dalam menulis.

Ia menulis dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, Fikih, akidah, hadis, sejarah, Tasawuf, juga perbandingan agama.

Kitab karangannya sebagian berbahasa Melayu dan sebagian berbahasa Arab.

Ada jasa besar Syekh Nuruddin Ar-Raniri bagi Bahasa dan Sastra Indonesia.

Karena beliau dikenal sebagai ulama dan banyak karya beliau yang tersebar ke berbagai wilayah, maka secara langsung menyebarluaskan bahasa Melayu di kawasan Asia Tenggara.

Sebagaimana kita ketahui bahwa Bahasa Melayu adalah asal dari Bahasa Indonesia.

Kitab-kitab beliau ditulis dalam bahasa Melayu dan sangat populer serta dikenal luas oleh umat Islam di kawasan Asia Tenggara.

Karya-karyanya ini telah membuat bahasa Melayu semakin populer dan tersebar luas sebagai lingua franca serta menjadi bahasa Islam kedua setelah bahasa Arab.

Jika dihitung secara umum, adalah lebih dari 29 buku menjadi warisan karya beliau yang sangat berharga.

Berikut adalah beberapa karya Syekh Nuruddin al Raniri yang bisa dihimpun oleh redaksi indoSastra.com sampai saat ini:

  1. As-Sirat al-Mustaqim (jalan lurus)
  2. Asrar Al-Insan Ma’rifat ar-Ruh wa Ar-Rahman (Rahasia manusia dalam mengetahui Roh dan Tuhan)
  3. Al-Fathu al-Mubin Ala al-Mulhidin (kenangan nyata atas kaum yang menyimpang)
  4. Bustan al-Salatin (Taman Raja-raja)