Tim indoSastra
Hamsad Rangkuti dikelompokkan sebagai Sastrawan Angkatan 1966 – 1970 an.
Sastrawan ini lahir pada tanggal 7 Mei 1943 di Titikuning, Medan, Sumatera Utara. Nama asli beliau adalah Hasyim Rangkuti.
Riwayat pendidikan beliau dimulai dari Sekolah Dasar, kemudian melanjutkan ke SMP di Tanjungbalai, Asahan.
Setelah itu melanjutkan ke SMA, tapi hanya sampai kelas 2 tahun 1961, karena ia tak mampu lagi membayar uang sekolah.
Beliau memiliki enam orang saudara, dan masa kecil dijalani di Kisaran, Asahan, Sumatera Utara.
Beliau rajin menemani bapaknya yang bekerja sebagai penjaga malam yang merangkap sebagai guru mengaji di pasar kota perkebunan itu.
Pria dengan penampilan sangat sederhana ini adalah seorang sastrawan yang mempunyai arti penting bagi Indonesia.
Beliau sangat dikenal luas masyarakat melalui cerita pendek (cerpen).
Karena hidup dengan ekonomi yang kurang beruntung, maka Hamsad membantu ibunya ikut mencari makan dengan menjadi penjual buah di pasar.
Disamping itu beliau juga bekerja sebagai buruh lepas di perkebunan tembakau.
“Dulu belum ada semprotan hama, jadi dikerahkan orang untuk merawatnya. Tiap hari saya ikut ibu membalik-balik daun tembakau, bila ada ulatnya kita ambil,” paparnya.
Setelah terkumpul, ulat-ulat itu mereka masukkan ke dalam tabung, yang kemudian dihitung jumlahnya oleh mandor perkebunan,” katanya.
Menghadapi kepedihan karena belitan kesulitan hidup, Hamsad pun sering menghabiskan hari-harinya dengan melamun dan berimajinasi bagaimana memiliki dan menjadi sesuatu.
Karena tak mampu berlangganan koran dan membeli buku, Hamsad rajin membaca koran tempel di kantor wedana setempat.
Dari koran-koran itu ia berkenalan berkenalan dengan karya-karya para pengarang terkenal, seperti Anton Chekov, Ernest Hemingway, Maxim Gorki, O. Henry, dan Pramoedya Ananta Toer.
Dia pun mulai tertarik untuk menulis karya sastra. Cerita pendek pertamanya dia tulis saat masih duduk di bangku SMP di Tanjungbalai, Asahan, pada 1959.
Cerpen “Sebuah Nyanyian di Rambung Tua” itu dimuat di sebuah koran di Medan.
Berkembanglah berbagai pikiran liar, yang antaranya ia tuangkan dalam cerita pendek.
Kebetulan juga ayahnya suka mendongeng. “Saya merasa bakat mendongeng itu saya peroleh dari ayah saya.
Cuma dia secara lisan, saya dengan tulisan,” katanya.
Hamsad lalu bekerja sebagai pegawai sipil Kantor Kehakiman Komando Daerah Militer II Bukit Barisan di Medan.
Tapi hasrat menjadi pengarang lebih besar daripada bertahan sebagai pegawai.
Saat itu kebetulan akan berlangsung Konferensi Karyawan Pengarang seluruh Indonesia (KKPI) di Jakarta, dan ia termasuk dalam delegasi pengarang Sumatera Utara di tahun 1964.
“Setelah pulang konferensi itulah saya memutuskan tinggal di Jakarta,” papar penandatangan Manifes Kebudayaan ini.
Ia tinggal di Balai Budaya, Jalan Gereja Theresia, Jakarta Pusat. “Saya tidur di ubin beralaskan koran.
Karena ubinnya lebih rendah dari jalan, lantainya sering kebanjiran kalau hujan,” kata Hamsad mengungkapkan tahun-tahun awal penderitaannya di Jakarta.
Namun di sini ia bisa menguping obrolan para seniman senior, yang sedang mengadakan acara kesenian atau sekadar berkumpul-kumpul di sana.
Kariernya sebagai penulis cerita pendek sejak 1962, dan Pemimpin Redaksi Majalah Horison.
Karya-karya Hamsad Rangkuti:
Kini Hamsad telah mencapai cita-citanya menjadi penulis cerpen yang berhasil. Sejumlah cerpennya telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, seperti:
- Sampah Bulan Desember yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris, dan
- Sukri Membawa Pisau Belati yang diterjemahkan kedalam bahasa Jerman.
Dua cerpen dari pemenang Cerita Anak Terbaik 75 Tahun Balai Pustaka tahun 2001 ini, antara lain:
- Umur Panjang Untuk Tuan Joyokoroyo, dan
- Senyum Seorang Jenderal, pada 17 Agustus dimuat dalam Beyond the Horizon, Short Stories from Contemporary Indonesia yang diterbitkan oleh Monash Asia Institute.
Tiga kumpulan cerpennya, antara lain:
- Lukisan Perkawinan, dan
- Cemara di tahun 1982, serta
- Sampah Bulan Desember di tahun 2000,
Masing-masing diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan, Grafiti Pers, dan Kompas.
Novel pertamanya, Ketika Lampu Berwarna Merah memenangkan sayembara penulisan roman DKI, yang kemudian diterbitkan oleh Kompas pada 1981.
Bagi Hamsad, proses kreatif lahir dari daya imajinasi dan kreativitas.
Sehingga ia pernah bilang pada suatu seminar di Ujung Pandang bahwa para seniman rata-rata pembohong.
Tapi bagaimana ia sendiri terilhami Hamsad lalu menunjuk proses penciptaaan cerpennya Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu.
Penghargaan yang diraih:
- Penghargaan Insan Seni Indonesia 1999 Mal Taman Anggrek & Musicafe,
- Penghargaan Sastra Pemerintah DKI (2000)
- Penghargaan Khusus Kompas 2001 atas kesetiaan dalam penulisan cerpen,
- Penghargaan Sastra Pusat Bahasa (2001),
- Pemenang Cerita Anak Terbaik 75 tahun Balai Pustaka (2001)
- “Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu” dibacakan Hamsad dan dipentaskan pada Festival November 1998 di Taman Ismail Marzuki
- “Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu” mengilhami lagu “Bibir” karya Samantha Band, grup musik asal Bandung yang beranggotakan empat perempuan. Lagu “Bibir” ditayangkan SCTV pada Kamis, 21 Oktober pukul 01.10 Waktu Indonesia Tengah (WITA) dan diprotes oleh Komisi Penyiaran Sulawesi Selatan, karena lirik dalam refrain “Kan kuhapus bibirnya dari bibirmu dengan bibirku, dengan bibirku…” dianggap melanggar norma kesopanan dan kesusilaan.
Karya Tulis :
- Sebuah Nyanyian di Rambung Tua (1959),
- Ketika Lampu Berwarna Merah (1981),
- Lukisan Perkawinan (1982),
- Cemara (1982),
- Sampah Bulan Desember,
- Sukri Membawa Pisau Belati,
- Umur Panjang Untuk Tuan Joyokoroyo (2001),
- Senyum Seorang Jenderal (2001),
- Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu,
- Bibir dalam Pispot (2003).
Sumber: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan