Sinopsis Cerpen Robohnya Surau Kami – A.A Navis

Diposting pada

Sastra Angkatan 1960 -1960 an

Karya: Ali Akbar Navis (A.A. Navis)

Pada suatu daerah ada ada sebuah surau (musholla) yang sudah tua dan hampir roboh. Lalu ada orang tua yang datang ke sana dan berniat untuk mengurus surau.

Setelah mendapat izin dari masyarakat setempat, orang tua tersebut merawat surau tadi dan tidak jadi ambruk sampai sekarang.

Masyarakat sekitar surau memanggil Bapak tua ini dengan sebutan Garin atau penjaga surau.

Garin ini mengisi hidup dengan beribadah saja. Dia hidup dari sedekah masyarakat sekitar. Karena dia sering membersihkan dan merawat surau.

Disamping itu dia punya pekerjaan sederhana yaitu mengasah pisau. Semua pekerjaan dilakukan untuk memenuhi keperluannya sendiri.

Pak Tua Garin tidak mau repot mengerjakan hal yang lain karena dia hanya hidup sendiri.

Dia pikir hasil kerjanya tidak untuk orang lain, apalagi untuk anak dan istrinya yang tidak pernah terpikirkan.

Pada suatu hari datang seorang tamu yang bernama Ajo Sidi untuk berbincang-bincang dengan penjaga surau itu.

Ajo Sidi menceritakan tentang kisah seseorang yang bernama Haji Saleh.

Dalam cerita Ajo Sidi Haji Soleh adalah orang yang rajin beribadah, semua ibadah dilakukannya dengan tekun, dan semua larangan dijauhinya.

Pada hari kiamat atau hari penentuan apakah seseorang masuk surga atau neraka, Haji Soleh malah dimasukkan ke neraka.

Haji Soleh memprotes Tuhan, karena dia sudah rajin beribadah dan menjauhi perbuatan negatif.

Mungkin saja Tuhan salah memperhitungkan amal ibadah seseorang.

Ajo Sidi melanjutkan cerita, mana mungkin Tuhan salah perhitungan. Lalu Tuhan menjelaskan kenapa Haji Saleh masuk neraka:

“kamu tinggal di tanah Indonesia yang mahakaya raya, tapi, engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniyaya semua.

Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang.”

Setelah sekian lama berbincang, akhirnya Ajo Sidi pergi dan pulang ke tempatnya. Tapi sang Garin masih memikirkan kata-kata Ajo Sidi.

Beberapa hari kemudian Sang Garin menjadi murung, sedih, dan kesal.

Akhirnya dia menyadari bahwa yang diceritakan Ajo Sidi tadi adalah sebuah ejekan dan sindiran untuk dirinya.

Kenyataannya memang Sang Garin tak pernah mengingat anak dan istrinya.

Di samping itu juga tidak mau memikirkan hidupnya sendiri sebab dia memang tak ingin kaya atau bikin rumah.

Dia berpendapat bahwa kehidupannya lahir batin diserahkan kepada Tuhan. Oleh karena itu dia tak berusaha dan bekerja apapun selain beribadah.

Dia selalu bersujud, bersyukur, memuji, dan berdoa kepada Tuhan. Kemudian dia bertanya dalam hati apakah yang dikerjakannya tidak disukai Tuhan,

atau dia ini sama seperti Haji Saleh yang di mata manusia tampak taat tetapi di mata Tuhan ternyata lalai, dan akan dimasukkan ke dalam neraka.

Pak Garin terus memikirkan hal tersebut. Hingga pada akhirnya, merasa tidak sanggup menahan perasaan.

Tanpa diduga, ia memutuskan jalan pintas untuk menjemput kematiannya dengan cara menggorok lehernya dengan pisau cukur.

Masyarakat sekitar menjadi gempar dan terkejut atas kematian Sang Garin. Semua orang membantu mengurus jenazah dan menguburnya.

Tapi ada satu orang saja yang tidak begitu peduli atas kematiannya. Dialah Ajo Sidi.

Pada saat semua orang mengantar jenazah penjaga surau, tapi dia tetap saja pergi bekerja.