Sastra Angkatan 1950 -1960 an
Karya: Pramoedya Ananta Toer
Seorang pemuda adalah anak sulung dari tujuh bersaudara. Dia adalah bekas pejuang dalam melawan penjajahan Belanda.
Pernah juga dipenjara karena ikut terlibat dalam gerakan revolusi Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia).
Ayahnya juga adalah seorang pejuang kemerdekaan dan pernah juga dipenjara.
Walaupun sama-sama pejuang kemerdekaan, tapi Sang Pemuda dan Ayahnya memiliki pendapat dan pola fikir yang sangat berbeda.
Secara moral, sang pemuda bertolak belakang dengan ayahnya. Mereka berbeda paham, terutama dalam hal agama dan ideologi.
Ayahnya adalah seorang Islam dan anak seorang ulama, dan mengabdikan diri sebagai seorang pendidik dan nasionalis.
Sang ayah lebih mementingkan masyarakat di sekitar dibandingkan dengan dirinya sendiri.
Di lain pihak, sang pemuda tidak mengaku sebagai seorang Islam dan cenderung kepada ‘pasukan merah’.
Secara fisik, sang pemuda dan ayahnya juga sangat berbeda. Sang pemuda sudah lama tinggal di Jakarta dan hampir 25 tahun tidak pernah pulang kampung.
Sedangkan ayahnya bersama dengan kakak dan adiknya tinggal di Blora, kampung halaman mereka.
Perbedaan-perbedaan yang ada antara kedua ayah dan anak itu telah membuat keduanya menderita secara batin.
Sang ayah sangat menginginkan anaknya kembali, baik secara fisik maupun secara moral.
Pada suatu hari sang pemuda menerima surat dari pamannya yang memberitahukan bahwa bapaknya sakit keras dan memintanya untuk pulang kampung.
Ia sangat terkejut membaca surat tersebut. Kemudian ia bersama istrinya berangkat menuju Blora.
Karena tidak memiliki uang yang cukup, dia meminjam uang kepada temannya.
Dalam perjalanan, sang pemuda memberi penjelasan kepada istrinya yang merupakan orang sunda.
Dia menjelaskan keindahan kampung halamannya di Blora dan kebaikan orang-orang disana.
Ketika sampai di Blora, dia melepas rindu kepada saudara-saudaranya, kemudian ke rumah sakit untuk menemui bapaknya yang terkena penyakit TBC parah.
Ayahnya adalah salah seorang pegawai pemerintah Belanda yang ikut berjuang melawan pemerintah di bawah tanah.
Ayahnya mengeluarkan sebagian besar gajinya untuk membiayai pergerakan perlawanan.
Setelah itu ayahnya diangkat menjadi pengawas sekolah dan kemudian mengabdikan sisa hidupnya sebagai guru.
Tapi ayahnya ditangkap oleh pasukan merah saat gerakan revolusi Pesindo dan dipenjara selama dua minggu yang membuatnya jatuh sakit.
Sebagai seorang pejuang nasionalis sejati, sang ayah seharusnya mendapatkan perawatan yang layak di sanatorium saat kemerdekaan tercapai,
tapi kenyataannya malah membuat ia dan keluarganya menderita dan tinggal di rumah yang mau runtuh.
Tapi dengan lapang dada sang ayah menerima keadaan seperti itu, bahkan jiwa sosialnya lebih besar daripada memenuhi kebutuhan pribadi.
Sang ayah menyuruh anaknya untuk memperbaiki sumur yang sering dipakai orang-orang sekitar dibanding memperbaiki rumahnya yang sudah tua.
Sang Pemuda dari Jakarta sering menyuruh ayah untuk merenovasi rumah, tapi sang ayah tetap pada pendiriannya.
Dengan perawatan ala kadarnya dari rumah sakit, dan sikap perawat yang kurang perhatian pada pasiennya, maka penyakit penyakit TBC yang diderita sang ayah makin parah.
Setelah sekian lama tinggal di Blora, istrinya yang berdarah sunda dan berasal dari Jawa Barat menyuruhnya agar segera pulang karena persediaan keuangan yang semakin menipis.
Tapi anjuran istri tidak membuatnya hengkang dari Blora karena tidak tega meninggalkan ayahnya yang terkujur kaku digerogoti TBC yang semakin parah.
Melihat tingkah istrinya yang agak materialistis, sang ayah lalu memberi pesan kepadanya agar ia memahami betul adat istrinya yang berasal dari daerah di luar Jawa Tengah.
Ketika akhirnya diputuskan perawatan ayah tidak lagi di rumah sakit dan di bawa ke rumah, ternyata penyakit sang ayah bertambah parah.
Para tetangga yang selama ini merasa berhutang budi kepada sang ayah karena sering memakai sumur, banyak yang datang mengunjungi sang ayah.
Tapi karena jumlah tetangga yang datang sangat banyak, maka membuat sang ayah terganggu.
Tapi untunglah setelah menerima nasihat, akhirnya tetangga yang banyak datang disuruh menunggu di luar kamar.
Dengan sepenuh hati seluruh anak-anak merawat ayahnya yang sakit. Segala pinta ayahnya mereka turuti untuk kesembuhan ayahnya.
Tapi apa daya, takdir lebih kuat dari semua usaha mereka.
Ayahnya meninggal dunia dan menyisakan kenangan, sifat-sifat, dan jiwa besar ayahnya akan selalu dikenang oleh anak-anak, para tetangga, anak didik, dan semua orang yang mengenalnya.