A.A. Navis (Sastrawan dan Pujangga)

Diposting pada

Tim indoSastra

Profil sastrawan ini data awalnya diambil dari lembaga pemerintahan Indonesia, ini berdasarkan “Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik”Data tersebut kemudian diolah supaya lebih mudah dibaca.

A.A. Navis dikelompokkan sebagai Sastrawan Angkatan 1950 – 1960-an

Sastrawan cerdas Minangkabau ini lahir pada tanggal 17 November 1924 di Kampung Jawa Kota Padangpanjang, Sumatra Barat.

Nama lengkapnya adalah Ali Akbar Navis, tetapi sepanjang kariernya ia lebih dikenal dengan namanya yang lebih simpel A.A. Navis.

Beliau adalah anak sulung dari lima belas bersaudara.

Riwayat pendidikan beliau dimulai dengan memasuki sekolah Indonesisch Nederiandsch School (INS) di daerah Kayutaman selama sebelas tahun.

Karena jarak antara rumah dan sekolah Navis cukup jauh. Perjalanan panjang yang ditempuhnya setiap hari itu dimanfaatkannya untuk membaca buku sastra yang dibelinya.

Sewaktu menempuh pendidikan di INS, selain mendapat pelajaran utama, Navis juga mendapat pelajaran kesenian dan berbagai keterampilan.

Karena pendidikan formal beliau hanya sampai di INS. Tapi kemudian, beliau belajar keras secara otodidak.

Akan tetapi, kegemarannya membaca buku (bukan hanya buku sastra, juga berbagai ilmu pengetahuan lain) memungkinkan intelektualnya berkembang.

Hasilnya luar biasa, beliau terlihat  menonjol dari teman seusianya. Dari berbagai bacaan yang diperolehnya, Navis kemudian mulai menulis kritik dan esai.

Beliau berusaha menyoroti kelemahan cerpen Indonesia dan mencari kekuatan cerpen asing.

Waktu menulis cerpennya sendiri, kelemahan cerpen Indonesia itu dicoba diperbaikinya dengan memadukannya dengan kekuatan cerpen asing.

Navis memulai kariernya sebagai penulis ketika usianya sekitar tiga puluhan. Sebenarnya dia sudah mulai aktif menulis sejak tahun 1950.

Tamat dari sekolah, Navis pernah bekerja sebagai seorang pegawai pada sebuah pabrik porselen di Padang Panjang, kota kelahirannya.

Beliau lali menjadi seorang pegawai negeri. Dari tahun 1952 hingga 1955, ia merupakan Kepala Bagian Kesenian pada Jawatan Kebudayaan Sumatra Tengah, berkedudukan di Bukittinggi.

Pada awal karirnya, Navis aktif di dunia jurnalistik. Ia juga pernah memimpin harian Semangat sebagai pemimpin redaksi dari tahun 1971 hingga 1972.

Dari tahun 1950 hingga 1958, ia juga pernah berperan sebagai penasihat ahli untuk RRI Studio Bukittinggi.

Kemudian beliau bekerja sebagai manajer umum bagi percetakan Singgalang dari tahun 1982 hingga 1984.

Hebatnya lagi, Navis aktif pula sebagai seorang pengajar dan akademisi.

Beliau pernah mengajar sebagai guru gambar di Sekolah Kepanduan Putri Bukittinggi (1955-58).

Juga menjadi dosen luar biasa pada Akademi Seni Karawitan Indonesia (kini Institut Seni Indonesia) Padang Panjang dan Fakultas Sastra (kini Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Andalas.

Namun kepenulisannya baru diakui sekitar tahun 1955 sejak cerpennya banyak muncul di beberapa majalah, seperti Kisah, Mimbar Indonesia, Budaya, dan Roman.

Disamping cerpen, Navis juga menulis naskah sandiwara untuk beberapa stasiun RRI, seperti Stasiun RRI Bukittinggi, Padang, Palembang, dan Makassar.

Kemudian beliau juga mulai menulis novel. Tema yang muncul dalam karya  A.A. Navis biasanya bernapaskan kedaerahan dan keagamaan sekitar masyarakat Minangkabau.

Navis pernah berkeinginan menulis peristiwa kemiliteran yang pernah dihadapi bangsa Indonesia dan tentang kebangkitan umat Islam.

Akan tetapi, keinginan itu diurungkannya mengingat sulitnya mencari penerbit yang mau menerbitkan cerita yang berisi kedua peristiwa tersebut.

Kalau dipaksakan, hal itu dapat menjadi suatu karya yang mubazir. Navis memang prihatin terhadap situasi bangsa Indonesia saat itu

sehingga tidak perlu heran mengapa banyak pengarang lebih memilih membuat cerita “hiburan” agar dapat terbit.

Keadaan itu menimbulkan kesan bahwa bangsa Indonesia memang lebih menyukai pekerjaan di atas ranjang daripada pekerjaan bermanfaat bagi manusia.

Tentang kehadirannya dalam  sastra Indonesia, A. Teeuw berkomentar bahwa Navis sebenarnya bukan seorang pengarang besar,

melainkan seorang pengarang yang menyuarakan suara Sumatera di tengah konsep Jawa (pengarang Jawa) sehingga beliau layak disebut sebagai pengarang “Angkatan Terbaru”.

Komentar lain, Abrar Yusra, mengatakan bahwa cerpen Navis “Robohnya Surau Kami” yang mendapat hadiah kedua dari majalah Kisah sebenarnya lebih terkenal daripada cerpen “Kejantanan di Sumbing” karya Subagio Sastrowardoyo.

Hidup sebagai sastrawan tidaklah mudah, terutama dalam masalah perekonomian. Hidup dari sekadar mengharapkan upah menulis menjadi suatu hal yang mustahil.

Hal itu disadari betul oleh Navis. Oleh karena itu, beliau mengatakan bahwa beliau menjadi pengarang hanya ketika  beliau mengarang.

Setelah itu, beliau menjadi orang biasa lagi yang harus bekerja untuk mendapatkan nafkah.

Di luar bidang kepengarangannya itu, Navis bekerja sebagai pemimpin redaksi di harian Semangat (harian angkatan bersenjata edisi Padang),

Dewan Pengurus Badan Wakaf INS, dan pengurus Kelompok Cendekiawan Sumatera Barat (Padang Club).

Di samping itu, Navis juga sering menghadiri berbagai seminar masalah sosial dan budaya sebagai pemakalah atau peserta.

Setelah Navis menikah, istrinya juga ikut membantu pekerjaannnya sebagai sastrawan.

Apabila beliau sedang menulis sebuah cerita, istrinya selalu mendampinginya dan membaca setiap lembar karangannya.

Beliau memperhatikan reaksi istrinya ketika membaca dan itu yang dibuatnya sebagai ukuran bahwa tulisannya sesuai atau tidak dengan keinginannya.

Berbeda dengan kebanyakan putra Minangkabau yang senang merantau, A.A. Navis telah memateri dirinya untuk tetap tinggal di tanah kelahirannya.

Beliau berpendapat bahwa merantau hanyalah soal pindah tempat dan lingkungan, tetapi yang menentukan keberhasilan  tetaplah kreativitas itu sendiri.

Kesenangan A.A. Navis terhadap sastra dimulai dari rumah. Orang tuanya, pada saat itu, berlangganan majalah Panji Islam dan Pedoman Masyarakat.

Kedua majalah itu  memuat cerita pendek dan cerita bersambung di setiap edisinya.

Navis selalu membaca cerita itu dan lama-kelamaan beliau mulai menggemarinya. Ayahnya, St. Marajo Sawiyah, mengetahui dan mau mengerti akan kegemaran Navis.

Ayahnya pun lalu memberikan uang agar Navis dapat membeli buku bacaan kegemarannya.

Itulah modal awal Navis untuk menekuni dunia karang-mengarang di kemudian hari.

Pada masa tuanya, Navis menyimpan beberapa gagasan untuk menulis cerpen dan memulai menggarap novel.

Beberapa dari keinginannya itu sudah selesai, tetapi banyak juga yang terbengkalai.

Dari tahun 1972 hingga 1982, Navis duduk di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatra Barat sebagai wakil dari Golkar.

Di partai ini, ia pernah duduk sebagai anggota Dewan Pertimbangan DPD Golkar Sumbar periode 1994 hingga 1999.

A.A. Navis sangat merisaukan pendidikan nasional saat ini.

Dari SD sampai perguruan tinggi, siswa atau mahasiswa hanya boleh menerima, tidak diajarkan mengemukakan pikiran.

Murid tidak diajarkan pandai menulis oleh karena menulis itu membuka pikiran.

Pelajar juga tidak diajarkan membaca karena membaca itu memberikan anak-anak perbandingan-perbandingan.

Di perguruan tinggi orang tidak pandai membaca, orang tidak pandai menulis, jadi terjadi pembodohan terhadap generasi-generasi akibat dari kekuasaan.

Kemudian Navis memberi perbandingan, jika beliau berkesempatan jadi menteri, maka akan memfungsikan sastra.  Pelajaran sastra adalah pelajaran orang berpikir kritis.

Orang berpikir kritis dan orang memahami konsep-konsep hidup.

Kita baca, karya mana saja yang baik, itu berarti menyuruh orang berpikir berbuat betul.

Lalu karya-karya itu konsepnya yang jahat lawan yang buruk.

Dalam karya sastra bisa terjadi yang jahat itu yang dimenangkan, tetapi bukan artinya sastra memuja yang jahat.

Navis juga mengamati  perkembangan sastra di Indonesia sedang macet.

Banyak karya-karya sastra di Indonesia menceritakan hal-hal orang-orang munafik.

Diajarkan itu ke anak-anak tentang orang munafik di tengah masyarakat kita yang banyak munafik.

Anak-anak kan jadi tajam. Oleh karena itu, pemerintah tampaknya tidak mengajarkan sastra supaya orang tidak melihat orang-orang yang munafik, umpamanya.

Hal ini tak terlepas dari mental korup para elit bangsa ini.

Maka andai ia diberi pilihan alat kekuasaan, atau menulis dan berbicara, yang dia pilih adalah kekuasaan.

Untuk apa? Untuk menyikat semua koruptor. Walaupun ia sadar bahwa mungkin justru ia yang orang pertama kali ditembak.

Sebab, “semua orang tidak suka ada orang yang menyikat koruptor,” katanya seperti pesimis tentang kekuatan pena untuk memberantas korupsi.

A.A Navis juga punya pemikiran tentang  orang Minang, dirinya sendiri, keterlaluan kalau ada yang mengatakan orang Minang itu pelit. Yang benar, penuh perhitungan.

Sangat tak tepat mengatakan orang Minang itu licik. Yang benar galia (galir), ibarat pepatah “tahimpik nak di ateh, takuruang nak di lua” (terhimpit maunya di atas, terkurung maunya di luar).

Itulah A.A. Navis “Sang Kepala Pencemooh”.

Sekarang kita beralih pada kehidupan keluarga beliau, Navis menikah dengan istrinya, Aksari Yasin, pada tahun 1957.

Pasangan ini dikaruniai tujuh orang anak: Dini Akbari, Lusi Berbasari Dedi Andika, Lenggogini, Gemala Ranti, Rinto Amanda, dan Rika Anggraini.

Putrinya, Gemala Ranti menjabat sebagai Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatra Barat sejak bulan Agustus 2018.

Kendalanya adalah usianya yang bertambah tua yang menyebabkan daya tahan tubuh dan pikirannya semakin menurun.

Negara Indonesia kehilangan sastrawan besar yang sangat berjasa pada dunia sastra.

A.A. Navis meninggal karena sakit di Rumah Sakit Pelni, Jakarta, tahun 2004.

a. Cerita Pendek

  1. Robohnya Surau Kami (kumpulan cerpen), Jakarta: Gramedia, 1986
  2. Hujan Panas dan Kabut Musim (kumpulan cerpen), Jakarta: Jambatan, 1990
  3. “Cerita Tiga Malam”, Roman, Thn. V, No.3, 1958:25–26
  4. “Terasing”, Aneka, Thn. VII, No. 33, 1956:12–13
  5. “Cinta Buta”, Roman, Thn. IV, No. 3, 1957
  6. “Man Rabuka”, Siasat, Thn. XI, No. 542, 1957:14–15
  7. “Tiada Membawa Nyawa”, Waktu, Thn. XIV, No.5, 1961
  8. “Perebutan”, Star Weekly, Thu. XVI, No. 807, 1961
  9. “Jodoh”, Kompas, Thu. Xl, No. 236, 6 April 1976:6

b. Puisi

  • Dermaga dengan Empat Sekoci (1975)
  • Dermaga Lima Sekoci (2000)

c. Novel

  1. Kernarau, Jakarta: GrasIndo, 1992
  2. Saraswati  si Gadis dalarn Sunyi, Jakarta: Pradnya Paramita, 1970.
  3. Gerhana (2004)

d. Karya Nonfiksi

  1. “Surat-Surat Drama”, Budaya, Thn.X, Januari-Februari 1961
  2. “Hamka Sebagai Pengarang Roman”, Berita Bibliografi, Thn.X, No.2, Juni 1964
  3. “Warna Lokal dalam Novel Minangkabau”, Sinar Harapan, 16 Mel 1981
  4. “Memadukan Kawasan dengan Karya Sastra.”, Suara Karya, 1978
  5. “Kepenulisan Belum Bisa Diandalkan sebagai Ladang Hidup”, Suara Pembaruan, 1989
  6. “Menelaah Orang Minangkabau dari Novel Indonesia Modern”, Bahasa dan
  7. Sastra, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1977

e. Cerita rakyat

  1. Cerita Rakyat dari Sumatra Barat (1994)
  2. Cerita Rakyat dari Sumatra Barat 2 (1998)
  3. Cerita Rakyat dari Sumatra Barat 3 (2001)

f. Otobiografi

  • Pasang Surut Pengusaha Pejuang (otobiografi Hasjim Ning; 1986)

g. Non-fiksi

  1. Dialektika Minangkabau (editor, 1983)
  2. Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau (1984)
  3. Surat dan Kenangan Haji (1994)
  4. Filsafat dan Strategi Pendidikan M. Sjafei: Ruang Pendidik INS Kayutanam (1996)
  5. Yang Berjalan Sepanjang Jalan (1999)

h. Karya tentang A.A. Navis

  1. Otobiografi A.A. Navis: Satiris dan Suara Kritis dari Daerah (Abrar Yusra, 1994)
  2. A.A. Navis: karya dan dunianya (Ivan Adilla, 2003)

i. Hadiah dan Penghargaan

  1. Hadiah kedua lomba cerpen majalah Kisah (1955) untuk cerpen “Robohnya Surau Kami”
  2. Penghargaan dari UNESCO (1967) untuk kumpulan cerpen Saraswati dalam Sunyi
  3. Hadiah dari Kincir Emas (1975) untuk cerpen “Jodoh”
  4. Hadiah dari majalah Femina (1978) untuk cerpen “Kawin”
  5. Hadiah seni dari Depdikbud (1988) untuk novel Kemarau
  6. SEA Write Awards (1992) dari Pusat Bahasa (bekerja sama dengan Kerajaan Thailand)

Sumber: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan