Sastra dalam Berita
Rangkuman Berita (Jurnalistik + SEO)
| Unsur | Keterangan | Detail SEO & Peristiwa Mencolok |
| What (Apa) | Pementasan Teater Kontemporer “Sitti Nurbaya 2.0: Perempuan yang Melawan Arus”. | Menggambarkan isu perjodohan dan feminisme Minangkabau modern. |
| Who (Siapa) | Kelompok Teater Ranah Minang (KTRM) dengan dukungan Rektor Universitas Andalas. | Menampilkan aktor lokal ternama dan musisi etnik. |
| When (Kapan) | Malam hari, Rabu, 5 November 2025. | Pertunjukan pembuka yang viral sejak gladi bersih. |
| Where (Di mana) | Gedung Pertunjukan Taman Budaya Sumatera Barat, Kota Padang. | Lokasi strategis yang mudah diakses komunitas seni dan mahasiswa. |
| Why (Mengapa Viral) | Penggabungan drama klasik Marah Rusli dengan isu kontemporer (media sosial, body shaming), menarik generasi muda. | Judul Sitti Nurbaya yang legendaris diolah ulang secara radikal. |
| How (Bagaimana) | Menggunakan dialek Minang halus, pencahayaan minimalis, dan iringan musik Talempong elektrik. | Menghasilkan suasana pertunjukan yang memukau dan modern. |
Tujuan dan Manfaat Kegiatan Sastra
- Relevansi Klasik: Menghadirkan kembali karya sastra klasik Indonesia (Sitti Nurbaya) agar tetap relevan dan dicerna oleh generasi Z, menunjukkan bahwa kritik sosial dari masa lalu masih berlaku hari ini.
- Eksplorasi Budaya: Menjadi medium eksplorasi isu-isu sosial spesifik Minangkabau (seperti matriarki dan sistem adat) melalui lensa modern dan seni pertunjukan, merangsang diskusi kritis.
- Penguatan Komunitas: Memberikan panggung bagi seniman dan sastrawan muda Padang untuk berkolaborasi, memperkuat ekosistem seni teater lokal.
Karya Sastra yang Ditampilkan (Kutipan/Bagian Penting)
Karya utama yang diadaptasi adalah novel “Sitti Nurbaya: Kasih Tak Sampai” oleh Marah Rusli (1922).
Kutipan (Simulasi Naskah Kontemporer):
Nurbaya (berbicara sambil memegang ponsel, diiringi Talempong pelan): “Mereka bilang, harga diriku diukur dari berapa banyak tanda suka. Mereka bilang, harga diriku diukur dari tumpukan mas kawin. Padahal, jiwaku ini tak ternilai harganya, seperti laut di Padang yang tak pernah mau diam. Ayah, kenapa kau jadikan aku sandera adat yang membisu? Aku, Nurbaya, bukan benda yang bisa dipindahtangankan hanya karena hutangmu pada si jahat Datuk Meringgih 2.0!”
Semoga peristiwa sastra diatas dapat melepaskan dahaga akan bahasa nan indah menawan, dan menceriakan hidup yang lebih kaya makna.

