Deklarasi Puisi Digital Massal “Sajak untuk Iklim”, Keren! Rabu, 5 November 2025 di Kota Bandung, Jawa Barat

Diposting pada

Sastra dalam Berita

Rangkuman Berita (Jurnalistik + SEO)

Unsur Keterangan Detail SEO & Peristiwa Mencolok
What (Apa) Acara sastra hybrid (fisik dan virtual) berupa Deklarasi Puisi Massal bertema krisis iklim. Dinamakan #SajakUntukIklim, menggabungkan puisi, live streaming, dan instalasi seni ramah lingkungan.
Who (Siapa) Komunitas Sastra Bandung Raya (KSBR) bekerja sama dengan Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran dan influencer lingkungan. Dihadiri ribuan partisipan daring dan luring.
When (Kapan) Sore hingga malam, Rabu, 5 November 2025. Puncak acara menampilkan video mapping sajak di Gedung Sate.
Where (Di mana) Area Publik Alun-Alun Ujungberung, dan Gedung Sate (untuk video mapping), Kota Bandung. Memanfaatkan ruang publik dan ikon kota untuk menyampaikan pesan.
Why (Mengapa Viral) Sastrawan memanfaatkan teknologi video mapping dan media sosial (TikTok, X) untuk menyebarkan puisi bertema lingkungan. Penggunaan tagar #SajakUntukIklim menjadi tren, menjangkau audiens non-sastra.
How (Bagaimana) Partisipan membacakan sajak secara estafet di Alun-Alun Ujungberung, kemudian direkam dan diproyeksikan ke Gedung Sate. Menciptakan gerakan sastra yang visual dan sangat shareable.

Tujuan dan Manfaat Kegiatan Sastra

  1. Literasi Lingkungan: Menggunakan sastra (puisi) sebagai alat persuasi yang halus namun kuat untuk meningkatkan kesadaran publik Bandung terhadap isu krisis iklim, polusi, dan keberlanjutan.
  2. Integrasi Seni-Teknologi: Menjembatani kesenjangan antara sastra konvensional dan teknologi digital, menunjukkan bahwa puisi dapat menjadi karya seni instalasi yang dinamis.
  3. Demokratisasi Sastra: Membuka partisipasi publik seluas-luasnya, mengubah pembaca puisi pasif menjadi deklarator aktif dalam isu sosial.

Karya Sastra yang Ditampilkan (Kutipan/Bagian Penting)

Karya baru, Spesial Deklarasi Sastra, ditulis oleh Sastrawan Muda Bandung:

Kutipan Sajak (Simulasi):

“Kami adalah ampas kopi yang tumpah di Citarum. Kami adalah kabut yang menelan Lembang. Pohon bukan lagi tempat kami bersandar, melainkan angka kerugian di laporan. Berapa lama lagi kami harus bernapas dengan filter? Bumi Bandung berbisik; ia rindu sajak yang membersihkan, bukan hanya meratap. Hentikan puisi yang memuja, mulailah sajak yang melawan karbon.”

  • (Anonim, Deklarator #SajakUntukIklim)

Semoga peristiwa sastra diatas dapat melepaskan dahaga akan bahasa nan indah menawan, dan menceriakan hidup yang lebih kaya makna.