Sastra Angkatan 1980 -1990 -an
Karya: Remy Sylado
Ringkasan Umum:
Novel ini bercerita tentang kisah cinta antara seorang wanita betawi pribumi yang bernama Siti Noerhaijati (Tinung) dengan seorang pemuda peranakan Tiong Hoa yang bernama Tan Peng Liang.
Ca-bau-kan berasal dari Bahasa Hokkian artinya adalah “perempuan”, pada masa penjajahan dulu sering diterjemahkan dengan pelacur, gundik, atau wanita simpanan orang Tionghoa.
Pada masa penjajahan Belanda di Batavia, ada seorang wanita betawi muda bernama Siti Noerhaijati, tapi panggilan sehari-harinya adalah Tinung.
Dia kehilangan suaminya tak lama setelah menikah, kemudian dia diusir dari keluarga almarhum suaminya saat dia sedang hamil.
Penderitaan wanita tersebut makin parah karena kandungannya mengalami keguguran.
Kemudian dia masuk ke dalam dunia prostitusi Ca-bau-kan atas dorongan Saodah yaitu bibinya.
Tinung menjadi seorang Ca-bau-kan pada tahun 1933 di daerah Kalijodo, Batavia, lalu Tinung pun menjadi sangat populer dan terkenal karena kecantikannya.
Oleh karenanya, Tinung sempat dijadikan wanita simpanan oleh seorang tauke (juragan) pisang Tionghoa berperangai kasar yang bernama Tan Peng Liang.
Awalnya Tinung hidup dengan nyaman dan bahkan hamil lagi. Tapi kemudian dia melarikan diri karena tidak tahan dengan lingkungan rumah Tan Peng Liang yang diwarnai kekerasan.
Kembali Tinung bekerja sebagai Ca bau kan di Kalijodo, tapi tidak lama karena kondisinya yang sedang hamil.
Kemudian Saodah yang juga bekerja sebagai penari cokek membawa Tinung dan memperkenalkan Tinung ke dunia tari dan nyanyi cokek di bawah naungan Njoo Tek Hong, seorang musisi Tionghoa.
Tinung bertemu di sebuah festival dengan seorang pengusaha tembakau kiau-seng (peranakan Tionghoa) dari Semarang.
Namanya Tan Peng Liang, tapi sangat berbeda dengan Tan Peng Liang yang dulu, walau nama mereka sama.
Dari pertemuan tersebut, Tinung dan Tan Peng Liang mulai merasa tertarik satu sama lain.
Kemudian mereka juga bertemu pada kesempatan yang lain.
Tinung dan Tan Peng Liang pun memulai hubungan cinta, meski mereka tak menikah secara resmi.
Ternyata di balik hubungan mereka, anak dan istri Tan Peng Liang di Semarang menentang keras hubungan berbeda kelas tersebut.
Tapi ada yang mendukung hubungan mereka yaitu Ibu Tan Peng Liang, seorang wanita Jawa yang bijaksana.
Ternyata Giok Lan lahir di tengah-tengah perseteruan bisnis Tan Peng Liang dengan Dewan Kong Koan tersebut.
Tan Peng Liang ternyata terlibat perjuangan kemerdekaan bersama Rahardjo Soetardjo, sepupunya yang adalah orang Jawa pribumi.
Kemudian Tan Peng Liang pergi ke Makau, Cina, dan menjadi semakin disegani dalam dunia bisnis,
namun juga bercerita bahwa Tinung lah orang yang sebenarnya membuat Tan Peng Liang orang yang disegani.
Sementara di Indonesia, Tinung sering menolak ajakan banyak pria untuk menjadi wanita simpanan mereka karena cintanya pada Tan Peng Liang.
Karena hidupnya sangat miskin, Tinung tidak dapat mengurus anak-anaknya.
Dengan hati yang berat, lalu terpaksa menyerahkan anak pertamanya dan Giok Lan kecil untuk diadopsi dan dibawa ke negeri Belanda dengan imbalan uang.
Kemudian Tinung diculik oleh orang suruhan Tan Peng Liang pertama yang ternyata masih menyimpan perasaan kepada Tinung.
Tapi kisah penculikan tersebut tidak bertahan lama karena campur tangan Tan Soen Bie yang diakhiri dengan tewasnya Tan Peng Liang pertama di tangan Tjia Wan Sen yang dendam kepadanya.
Kematian Tan Peng Liang pertama tersebut menjadi keuntungan bagi Tan Peng Liang kedua yang dapat memalsukan kematiannya sendiri.
Sementara Tan Peng Liang yang berada di negeri Siam telah mengganti namanya menjadi Simon Chen.
Dia memulai kisah cinta dengan Jeng Sut yaitu seorang pejuang bawah tanah komunis merangkap pengusaha.
Mereka juga mempunya bisnis menyelundupkan senjata.
Zaman berganti, lalu datanglah pasukan Jepang tahun 1942, dimana anggota Dewan Kong Koan akhirnya ditangkap dan Rahardjo Soetardjo bersama Max Awuy menjadi rekan seperjuangan bawah tanah dalam pasukan Jepang.
Untuk membebaskan anggota Kong Koan dari tangkapan Jepang, Thio Boen Hiap menghadiahkan Tinung yang cantik ke tentara Jepang sebagai seorang jugun ianfu di Rumah Panjang, Sukabumi.
Kabar hilangnya Tinung memicu kemarahan Tan Soen Bie, lalu dia mengabarkan berita tersebut ke Tan Peng Liang.
Akhirnya Tan Peng Liang pulang dan berlabuh di Sunda Kelapa, Batavia. Dia kemudian bertemu dengan Rahardjo Soetardjo.
Tan Peng Liang sangat murka ketika Rahardjo Soetardjo mengabarkan nasib Tinung dan perbuatan Thio Boen Hiap kepadanya.
Tan Peng Liang lalu berikrar untuk membantu perjuangan pasukan Rahardjo Soetardjo, asalkan dibantu untuk mendapatkan Tinung kembali.
Usaha tersebut berhasil, Tinung akhirnya dibebaskan keluar dari Rumah Panjang oleh Rahardjo Soetardjo.
Di sebuah Rumah Sakit, Tinung menanti dan sangat menyesal, serta merasa bersalah dari peristiwa-peristiwa pahit yang terjadi sepanjang hidupnya
Tanpa diduga akhirnya Tinung bertemu lagi dengan Tan Peng Liang. Kesedihan Tinung perlahan memudar, dan kemudian mengubah hidupnya kembali ke normal.
Walau sudah bersama Tan Peng Liang, tapi Tinung merasa bahwa Ia tidak berguna untuk Tan Peng Liang karena tidak bisa mengandung anak lagi.
Keadaan tersebut kembali membuat Tan Peng Liang marah.
Maka dia berniat melampiaskan dendam lamanya kepada Thio Boen Hiap yang menyerahkan Tinung kepada pasukan Jepang sebelum kemerdekaan.
Kemudian Tan Peng Liang menyerang ke rumah Thio Boen Hiap dan dalam kemarahannya akhirnya mengeksekusi Thio Boen Hiap dengan tembakan ke kepala.
Waktu pun berjalan. Pada tahun 1960, nama Batavia berganti menjadi Jakarta.
Saat itu Tan Peng Liang menjadi seorang pengusaha yang sangat kaya dan sukses, dibantu oleh teman seperjuangannya,
Rahardjo Soetardjo dan Max Awuy yang kini mendapat posisi di pemerintahan Indonesia.
Pada masa jaya ini, Tan Peng Liang kembali menyatakan cintanya yang tulus kepada Tinung.
Tapi di luar sana, anggota Dewan Kong Koan yang telah bubar masih menyimpan dendam pada Tan Peng Liang, karena mereka tahu siapa yang membunuh Thio Boen Hiap.
Kemudian keadaan menjadi warna duka. Tan Peng Liang dibunuh setelah memakan durian beracun yang dibawakan oleh Jeng Tut dalam sebuah pertemuan bisnis di rumahnya.
Ternyata diketahui bahwa Oey Eng Goan tua yang sebenarnya merencanakan pembunuhan tersebut.
Juga tak lama setelah meninggalnya Tan Peng Liang, Tinung pun akhirnya juga meninggal.
Analisis Novel ini
Novel ini bersifat narasi. Semua cerita tadi mengungkap tentang siapa jati diri seorang wanita tua Indonesia yang tinggal di Belanda yang dipungut. Namanya adalah Giok Lan,
Lalu dapat disimpulkan bahwa Giok Lan mempunyai Ibu kandung seorang wanita betawi pribumi yang bernama Siti Noerhajati, yang kerap dipanggil Tinung, seorang Ca-bau-kan yang sering menghibur orang Tionghoa pada zaman kolonial Belanda di Indonesia.
Sementara Ayah kandungnya adalah Tan Peng Liang, seorang pedagang tembakau peranakan Tionghoa dari Semarang.