Emha Ainun Nadjib (Sastrawan dan Pujangga)

Diposting pada

Emha Ainun Nadjib dikelompokkan sebagai Sastrawan angkatan 1966 -1970 an dan juga terkenal sebagai salah seorang sastrawan angkatan 1980 -1990 an

Sastrawan, budayawan, ulama, dan seniman ini lahir pada tanggal 27 Mei 1953 di Jombang, Jawa Timur.

Beliau juga akrab dipanggil Cak Nun atau Mbak Nun.

Riwayat pendidikan beliau dimulai dari Sekolah Dasar di Jombang tamat tahun 1965, kemudian melanjutkan ke SMP Muhammadiyah Yogyakarta tamat tahun 1968.

Setelah itu masuk Pesantren Gontor Ponorogo, tapi tidak tamat karena melakukan unjuk rasa melawan pimpinan pondok karena sistem pondok yang kurang baik pada pertengahan tahun ketiga studinya.

Kemudian beliau meneruskan pendidikan ke SMA Muhammadiyah Yogyakarta dan tamat tahun 1971.

Untuk tingkat perguruan tinggi beliau kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) tapi tidak tamat.

Almarhum ayahnya bernama M.A. Lathif, adalah seorang petani, yang pernah memiliki kuda tunggang.

“Waktu remaja, saya dulu suka naik kuda itu,” demikian dikisahkan oleh Emha.

Emha menikah dengan Novia Kolopaking yang dikenal sebagai seniman film, panggung, serta penyanyi.

Beliau pernah hidup menggelandang di Malioboro Yogyakarta mulai dari  tahun 1970 hingga tahun 1975,

ini dilakukan demi belajar sastra kepada guru yang dikaguminya yaitu Umbu Landu Paranggi, yaitu seorang sufi yang hidupnya misterius dan sangat memengaruhi perjalanan Emha.

Pengalaman kerja beliau adalah pernah menjadi pengasuh ruang sastra di harian Masa Kini, Yogyakarta (1970), menjadi wartawan dan redaktur di harian Masa Kini (1973-1976), dan pernah menjadi penulis puisi dan kolumnis di beberapa media terkenal.

Pada tahun 1980 beliau pernah mengikuti lokakarya teater di Filipina, International Writing Program di Universitas Iowa, Amerika Serikat (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985).

Mulai dari tahun 1984 hingga tahun 1986, beliau tinggal di Amsterdam dan Den Haag, Belanda.

Selama hidup disana beliau membantu Prof. C. Brower melaksanakan lokakarya tentang agama, kebudayaan dan pembangunan.

Emha adalah salah satu pendiri Teater Dinasti dan juga ayah dari Noe yaitu vokalis band Letto.

Pernah mengikuti festival sastra dan konser bersama Kiai Kanjeng ke Australia, Amerika Serikat, Inggris dan beberapa negara eropa.

Kegiatan Emha langsung terjun langsung di masyarakat dan merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik, sinergi ekonomi guna menumbuhkan potensialitas rakyat.

Beliau juga giat dalam komunitas Masyarakat Padhang mBulan dan berkeliling ke berbagai wilayah nusantara,

rata-rata 10-15 kali per bulan bersama Gamelan Kiai Kanjeng, dan rata-rata 40-50 acara massal yang umumnya dilakukan di area luar gedung.

Disamping itu beliau juga aktif dan giat bersama Jamaah Maiyah Kenduri Cinta sejak tahun 1990-an yang dilaksanakan di Taman Ismail Marzuki.

Kenduri Cinta adalah salah satu forum silaturahmi budaya dan kemanusiaan yang dikemas sangat terbuka, nonpartisan,

ringan dan dibalut dalam gelar kesenian lintas gender, yang diadakan di Jakarta setiap satu bulan sekali dan sudah ada lebih dari 10 tahun.

Agenda rutin bulanan yang beliau miliki antara lain Mocopat Syafaat Yogyakarta, Padhangmbulan Jombang,

Gambang Syafaat Semarang, Bangbang Wetan Surabaya, Paparandang Ate Mandar, Maiyah Baradah Sidoarjo, dan masih ada beberapa lain yang bersifat tentative namun sering seperti di Bandung, Obro Ilahi Malang, Hongkong dan Bali.

Penghargaan yang diraih:

  1. The Muslim News Award dari Islamic Excellence di London, Inggris (2005)
  2. Satyalencana Kebudayaan (2011)

Karya-karya Emha Ainun Nadjib:

Buku Puisi

  1. “M” Frustasi (1976),
  2. Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978),
  3. Sajak-Sajak Cinta (1978),
  4. Nyanyian Gelandangan (1982),
  5. 102 Untuk Tuhanku (1983),
  6. Suluk Pesisiran (1989),
  7. Lautan Jilbab (1989),
  8. Seribu Masjid Satu Jumlahnya ( 1990),
  9. Cahaya Maha Cahaya (1991),
  10. Sesobek Buku Harian Indonesia (1993),
  11. Abacadabra (1994),
  12. Syair-syair Asmaul Husna (1994)

Karya Teater:

  1. Lautan Jilbab (1990, dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya dan Makassar),
  2. Geger Wong Ngoyak Macan (1989, tentang pemerintahan ‘Raja’ Soeharto),
  3. Patung Kekasih (1989, tentang pengkultusan),
  4. Keajaiban Lik Par (1980, tentang eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern),
  5. Mas Dukun (1982, tentang gagalnya lembaga kepemimpinan modern).
  6. Kemudian bersama Teater Salahudin mementaskan Santri-Santri Khidhir (1990, di lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain, serta 35.000 penonton di alun-alun madiun),
  7. Kiai Sableng dan Baginda Faruq (1993).
  8. Juga mementaskan Perahu Retak (1992, tentang Indonesia Orba yang digambarkan melalui situasi konflik pra-kerajaan Mataram, sebagai buku diterbitkan oleh Garda Pustaka), di samping Sidang Para SetanPak Kanjeng, serta Duta Dari Masa Depan.
  9. Dan yang terbaru adalah pementasan teater Tikungan Iblis yang diadakan di Yogyakarta dan Jakarta bersama Teater Dinasti
  10. Teater Nabi Darurat Rasul AdHoc bersama Teater Perdikan dan Letto yang menggambarkan betapa rusaknya manusia Indonesia sehingga hanya manusia sekelas Nabi yang bisa membenahinya (2012)

Karya berupa esai dan buku:

  1. Dari Pojok Sejarah (1985),
  2. Sastra Yang Membebaskan (1985)
  3. Secangkir Kopi Jon Pakir (1990),
  4. Markesot Bertutur (1993),
  5. Markesot Bertutur Lagi (1994),
  6. Opini Plesetan (1996),
  7. Gerakan Punakawan (1994),
  8. Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996),
  9. Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya (1994),
  10. Slilit Sang Kiai (1991),
  11. Sudrun Gugat (1994),
  12. Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1995),
  13. Bola- Bola Kultural (1996),
  14. Budaya Tanding (1995),
  15. Titik Nadir Demokrasi (1995),
  16. Tuhanpun Berpuasa (1996),
  17. Demokrasi Tolol Versi Saridin (1997),
  18. Kita Pilih Barokah atau Azab Allah (1997),
  19. Iblis Nusantara Dajjal Dunia (1997),
  20. 2,5 Jam Bersama Soeharto (1998),
  21. Mati Ketawa Cara Refotnasi (1998),
  22. Kiai Kocar Kacir (1998),
  23. Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan (Penerbit Zaituna, 1998),
  24. Keranjang Sampah (1998) Ikrar Husnul Khatimah (1999),
  25. Jogja Indonesia Pulang Pergi (2000),
  26. Ibu Tamparlah Mulut Anakmu (2000),
  27. Menelusuri Titik Keimanan (2001),
  28. Hikmah Puasa 1 & 2 (2001),
  29. Segitiga Cinta (2001),
  30. Kitab Ketentraman (2001),
  31. Trilogi Kumpulan Puisi (2001),
  32. Tahajjud Cinta (2003),
  33. Ensiklopedia Pemikiran Cak Nun (2003),
  34. Folklore Madura (Agustus 2005, Yogyakarta: Penerbit Progress),
  35. Puasa Itu Puasa (Agustus 2005, Yogyakarta: Penerbit Progress),
  36. Syair-Syair Asmaul Husna (Agustus 2005, Yogyakarta; Penerbit Progress)
  37. Kafir Liberal (Cet. II, April 2006, Yogyakarta: Penerbit Progress),
  38. Kerajaan Indonesia (Agustus 2006, Yogyakarta; Penerbit Progress),
  39. Jalan Sunyi EMHA (Ian L. Betts, Juni 2006; Penerbit Kompas),
  40. Istriku Seribu (Desember 2006, Yogyakarta; Penerbit Progress),
  41. Orang Maiyah (Januari 2007, Yogyakarta; Penerbit Progress,),
  42. Tidak. Jibril Tidak Pensiun (Juli 2007, Yogyakarta: Penerbit Progress),
  43. Kagum Pada Orang Indonesia (Januari 2008, Yogyakarta; Penerbit Progress),
  44. Dari Pojok Sejarah; Renungan Perjalanan Emha Ainun Nadjib (Mei 2008, Yogyakarta: Penerbit Progress)
  45. DEMOKRASI La Raiba Fih(cet ketiga, Mei 2010, Jakarta: Kompas)

Karya film:

RAYYA, Cahaya di Atas Cahaya (2011), skenario film ditulis bersama Viva Westi