Sinopsis Novel Negeri 5 Menara – Ahmad Fuadi

Diposting pada

Sastra angkatan 2000 – an

Karya: Ahmad Fuadi

Ringkasan umum:

Berkisah tentang 6 orang sahabat yang bersekolah di  Pondok Madani (PM) Ponorogo Jawa Timur.

Mereka dengan kerja keras dan sungguh-sungguh akhirnya berhasil meraih mimpi yang pada awalnya dinilai terlalu tinggi.

Mereka adalah Alif Fikri Chaniago dari Maninjau Sumatra Barat, Raja Lubis dari Medan, Said Jufri dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung, dan Baso Salahuddin dari Gowa

Ada seorang anak di sebuah kampung yaitu Desa Bayur terletak di Maninjau, Sumatera Barat. Nama anak tersebut adalah Alif, dia baru lulus SMP.

Alif ingin melanjutkan pendidikan di SMA Negeri dan kemudian ke ITB Bandung untuk mewujudkan mimpinya menjadi seorang pakar dan ahli iptek.

Ia tak ingin seumur hidupnya tinggal di kampung, dan mempunyai cita-citauntuk merantau.

Ia ingin melihat dunia luar dan ingin sukses seperti sejumlah tokoh yang ia baca di buku atau mendengar cerita temannya di desa.

Tapi orangtuanya menginginkan Alif mendalami ilmu agama dan menjadi seseorang yang sangat bermanfaat bagi masyarakat sekitar.

Melalui Amak (ibu) nya, Alif diminta untuk meneruskan pendidikan ke pesantren yaitu Pondok Madani di sudut kota Ponorogo, Jawa Timur.

Kenginan itu juga merupakan keinginan ayahnya, yang diperkuat oleh pernyataan dari  dari ”Mak Etek” atau paman yang sedang kuliah di Kairo.

Keluarga menginginkan Alif bisa bermanfaat bagi masyarakat seperti Bung Hatta dan Buya Hamka.

Tapi dalam diri Alif, ingin menjadi seorang dengan teknologi tinggi seperti B.J Habibie.

Dengan setengah hati, akhirnya Alif berangkat juga ke Pondok Pesantren saran dari keluarganya,

dia lalu pergi bersama ayahnya naik bus tiga hari tiga malam melintasi punggung Sumatera dan Jawa menuju sebuah pesantren yaitu Pondok Madani di sudut kota Ponorogo, Jawa Timur.

Ketika sampai, kesan pertama yang Alif dapatkan yaitu tempat yang kampungan dan banyak aturan yang ketat dan mirip penjara.

Apalagi ada keharusan mundur setahun untuk kelas adaptasi. Alif menguatkan hati untuk mencoba menjalankan setidaknya tahun pertama di Pondok Madani ini.

Tapi seiring berjalannya waktu, Alif mulai bersahabat dengan teman sekamarnya, Baso dari Gowa, Atang dari Bandung, Raja dari Medan, Said dari Surabaya, dan Dulmajid dari Madura.

Keenam bocah yang menuntut ilmu di Pondok Pesantren Madani ini setiap sore mempunyai kebiasaan unik.

Yaitu menjelang Azan Maghrib berkumpul di bawah menara masjid sambil melihat ke awan.

Ketika membayangkan awan itulah mereka melambungkan impiannya. Misalnya Alif mengaku jika awan itu bentuknya seperti benua Amerika, sebuah negara yang ingin ia kunjungi kelak lulus nanti.

Begitu pula lainnya menggambarkan awan itu seperti negara Arab Saudi, Mesir dan Benua Eropa.

Berawal dari kebiasaan berkumpul di bawah menara masjid tadi, mereka berenam pun menamakan diri Sahibul Menara, artinya pemilik menara.

Di Pondok Madani, ada ungkapan luar biasa yang selalu diingat oleh Alif.

Ungkapan itu disampaikan salah seorang guru bernama Ustad Salman yaitu  “Man Jadda Wa Jada”  artinya siapa bersungguh-sungguh pasti akan berhasil.

Ungkapan tersebut sangat bermakna bagi enam sahabat ini. Kemudian mereka memiliki impian masing-masing dan bertekad meraihnya.

Di Pondok Pesantren mereka dididik sangat ketat. Mulai dari keharusan bicara dalam Bahasa Inggris atau Arab, dan akan dihukum kalau bicara Bahasa Indonesia.

Mereka juga dilatih dengan disiplin yang sangat tinggi. Semua siswa harus tepat waktu dalam segala aktivitas.

Kalau terlambat beberapa menit saja, maka akan langsung mendapatkan hukuman.

Dari proses pembelajaran dan ungkapan luar biasa tadi di Pondok Madani, enam sahabat pemilik menara tersebut selalu berpikir visioner dan bercita-cita besar.

Mereka masing-masing memiliki ambisi untuk menaklukan dunia. Mulai dari tanah Indonesia, lalu ke Amerika, Eropa, Asia, atau hingga Afrika.

Dibawah menara Madani, mereka berjanji dan bertekad untuk bisa menaklukan dunia dan mencapai cita-cita;

Dan menjadi orang besar yang bisa bermanfaat bagi banyak orang.

Tapi sayang, salah satu dari keenam bersahabat tersebut yaitu Baso terpaksa harus keluar dari pesantren.

Ia meninggalkan Pondok Madani saat kelas lima untuk menjaga neneknya dan berusaha menghafal Al-Qur`an di kampung halamannya.

Waktu terus berjalan, Sahibul Menara yang lain terus menikmati pendidikan di Pondok Madani.

Hari ke hari terasa makin indah bagi mereka. Makin banyak manfaat yang mereka peroleh, baik dari persahabatan mereka, maupun dari sistem pendidikan yang sangat baik.

Hingga akhirnya mereka bisa meraih semua mimpi yang selama ini hanya bayangan.

Mereka bisa membuktikan bahwa mereka bisa menaklukkan seluruh benua, ada Amerika, Eropa, Asia, Afrika

Mereka kemudian bernostalgia dan saling membuktikan impian mereka ketika melihat awan di bawah menara masjid Pondok Pesantren Madani, Jawa Timur.

Ternyata bagi mereka menempuh pendidikan di pesantren mempunyai makna indah yang tak ternilai.

Alif yang tadinya beranggapan bahwa pesantren adalah konservatif, kuno dan kampungan,  ternyata adalah salah besar.

Pendidikan pesantren sangat menjujung disiplin yang tinggi, sehingga mencetak para santri yang bertanggung jawab dan komitmen.

Apalagi di pesantren jiwa dan gelora muda para santri disulut dan di bakar oleh para ustadz agar tidak gampang menyerah.

Secara rutin setiap pagi sebelum masuk kelas, selalu didengungkan kata-kata sakti ”Manjadda Wajadda” jika bersungguh-sungguh akan berhasil.

Di samping itu semua ada juga yang lebih penting yaitu selalu mengingat niat tulus orang tua, yaitu:

“Mempunyai anak yang sholeh dan berbakti adalah sebuah warisan yang tak ternilai, karena bisa mendoakan kedua orangtuanya mana kala sudah tiada,”

Itulah kalimat yang sering dikenang oleh Alif ketika mengingat keinginan Amak nya di kampung dulu.