Kuliah Umum Menulis Sejarah Populer dan Musik, Mempesona! Minggu, 2 November 2025 di Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan

Diposting pada

Sastra dalam Berita

BANJARMASIN, KALIMANTAN SELATAN – Dunia sastra non-fiksi dan jurnalisme sastra di Kalimantan hari ini, Minggu, 2 November 2025, dihebohkan oleh keberhasilan Kuliah Umum tentang “Menulis Sejarah & Musik Populer.” Acara ini viral karena membuka perspektif baru bahwa menulis karya populer, termasuk tentang sejarah dan musik Banua, dapat dilakukan tanpa kehilangan nilai ilmiah.

Unsur Jurnalistik Keterangan
What (Apa)? Kuliah Umum Sastra Populer dengan tema “Menulis Sejarah & Musik Populer”.
Who (Siapa)? Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (JPBSI-FKIP ULM) menghadirkan narasumber dari jurnalis budaya (Puja Mandela) dan akademisi UIN Palangka Raya.
When (Kapan)? Viral hari ini, Minggu, 2 November 2025.
Where (Di Mana)? Aula Banjarmasin Creative Hub, Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Why (Mengapa)? Untuk membagikan pengalaman dan gagasan tentang cara menuturkan sejarah dan budaya secara populer (non-fiksi kreatif) agar mudah diakses publik.
How (Bagaimana)? Menggelar sesi workshop dan diskusi yang membahas teknik penulisan esai sejarah yang ringan dan kritik musik yang berbobot.

Tujuan dan Manfaat Kegiatan:

  1. Tujuan: Mendorong mahasiswa, guru, dan pegiat literasi untuk menulis karya non-fiksi kreatif di ruang populer, khususnya yang mengangkat kekayaan sejarah dan budaya musik Banua.
  2. Manfaat: Penciptaan Karya Jurnalisme Sastra. Kegiatan ini membantu menjembatani kajian akademis dengan media massa, sehingga tulisan tentang sejarah dan musik populer Kalimantan dapat beredar luas dan memiliki SEO yang kuat.

Karya Sastra yang Ditampilkan:

Puja Mandela, salah satu narasumber, mencontohkan hasil karyanya berupa esai populer yang diangkat dari penelitian sejarah lokal. Berikut adalah kutipan dari esai yang ia bahas:

Judul: Jejak Melayu dan Distorsi Musik Pop di Tengah Sungai Martapura

(Kutipan Esai Jurnalisme Sastra)

Musik di Banjarmasin tidak hanya tentang pantun yang berirama sungai. Ia adalah distorsi lembut dari band-band lokal yang mencoba meramu Melayu dengan Rock. Di warung-warung kopi, kita tidak hanya mendengar dangdut, tapi juga gumaman sejarah dari para tua yang merindu Lagu Banjar tempo dulu. Menulis sejarah tidak harus kaku; ia harus berdenyut, seperti pukulan gendang yang mengiringi air pasang di Martapura.

Semoga peristiwa sastra diatas dapat melepaskan dahaga akan bahasa nan indah menawan, dan menceriakan hidup yang lebih kaya makna.