Ini adalah salah satu cerita rakyat Provinsi Sulawesi Tengah yaitu legenda “Tadulako Bulili” yang dikisahkan secara turun temurun.
Sering pula dilantunkan sebagai sebuah dongeng untuk pengantar tidur anak-anak.
Alkisah, dahulu pada suatu masa, di Sulawesi Tengah terdapat Desa Bulili. Di sana terdapatlah 3 orang tadulako atau panglima perang.
Mereka masing-masing bernama: Bantaili, Makeku dan Molove.
3 orang tadulako ini sangat terkenal karena mereka adalah panglima yang sakti dan pemberani.
Tugas utama mereka adalah menjaga keselamatan desa itu dari serangan musuh.
Jadi tak heran jika Desa Bulili selalu aman dan tekendali, rakyat nya pun merasa tidak ada gangguan sama sekali.
Mereka menikmati dengan tenang kehidupan disana.
Ada peristiwa yang cukup mengejutkan terjadi di desa itu, karena suatu hari datanglah seorang raja ke Desa Bulili.
Namanya adalah Raja Sigi. Setelah sekian waktu berkeliling desa, dia melihat seorang gadis cantik.
Karena terpesona akan kecantikan gadis Desa Bulili tersebut, akhirnya Sang Raja berniat menikahi sang gadis.
Ternyata gayung bersambut, si gadis dan keluarganya setuju dan menerima lamaran itu.
Lalu Raja Sigi dan gadis desa cantik tersebut sepakat untuk menikah.
Kemudian diadakanlah pesta pernikahan.
Penduduk desa akhirnya mengetahui bahwa seorang gadis desa Bulili sudah dinikahi oleh Raja Sigi.
Setelah menikah, Raja Sigi dan gadis desa menikmati kebersamaan bersama dan tinggal di Desa Bulili.
Beberapa bulan kemudian, ada senyum bahagia di wajah sepasang suami istri tersebut.
Ternyata si gadis sudah hamil, ini berarti mereka akan memiliki keturunan.
Setelah usia kandungan memasuki usia beberapa bulan.
Tiba-tiba Raja Sigi meminta ijin untuk kembali ke kerajaannya.
Dengan berat hati perempuan itu melepas suaminya.
Bulan demi bulan berlalu, hingga sudah lewat 9 bulan usia kandungan, sang raja sebagai suami tidak datang-datang juga.
Hingga akhirnya lahirlah seorang bayi tanpa didampingi oleh ayahnya.
Setelah beberapa hari bayi lahir, Raja Sigi belum muncul-muncul juga.
Hingga akhirnya pemuka-pemuka Bulili lalu memutuskan untuk mengirim utusan untuk menemui suami perempuan itu.
Utusannya adalah tadulako Makeku dan Bantaili. Dengan rasa pengabdian yang tinggi kedua Tadulako ini lalu berangkat menuju istana setelah mempersiapkan segala sesuatunya.
Mereka menempuh perjalanan yang cukup jauh. Selama perjalanan berbagai rintangan bisa mereka lalui.
Hingga akhirnya mereka sampai di istana Raja Sigi.
Ketika sampai di istana kerajaan. Betapa terkejutnya kedua tadulako ini.
Karena bukannya disambut dengan ramah.
Tetapi dengan sinisnya raja itu menanyakan maksud kedatangannya.
Kemudian kedua tadulako ini segera menguraikan maksud kedatangan mereka.
Lalu disampaikanlah bahwa mereka diutus untuk meminta padi di lumbung untuk anak raja yang baru lahir.
Kembali penghinaan mereka terima. Lalu dengan congkaknya raja Sigi menghina mereka.
Ia lalu berkata pada Tadulako itu:
“kalau mampu angkatlah lumbung padi di belakang rumah.”
Mendengar itu, Tadulako Bantaili naik pitam.
Lalu dengan sigapnya Tadulako Bantaili segera mengeluarkan kesaktian yang dimilikinya.
Semua penghuni istana jadi terperanjat, ternyata dia mampu mampu memanggul lumbung padi besar yang dipenuhi oleh padi.
Biasanya lumbung kosong saja hanya akan bergeser kalau diangkat oleh puluhan orang.
Sementara itu Makeku berjalan di belakang Bantaili untuk mengawal lumbung padi itu.
Lalu dengan sangat geram Raja Sigi memerintahkan pasukannya untuk mengejar mereka.
Kedua tadulako tadi terus saja pergi, tanpa bisa dikejar oleh pasukan raja.
Hingga akhirnya mereka sampai pada suatu tempat, di sana terbentanglah sebuah sungai yang sangat lebar dan dalam.
Tapi ternyata dengan kesaktian kedua tadulako tersebut, maka dengan mudahnya mereka melompati sungai itu.
Walaupun Bantaili melompat sambil menggendong lumbung padi yang berat,
tapi dia berhasil dengan mudahnya melompatinya tanpa ada banyak ceceran beras dari lumbung itu.
Sementara itu di belakang mereka, datanglah pasukan yang mengejar mereka.
Ternyata pasukan raja takut dan tidak berani melompati sungai besar yang berarus deras.
Melihat besarnya bahaya di depan mereka yaitu sungai besar dengan air mengalir deras, mereka tidak mampu berbuat apa-apa.
Dengan perasaan kecewa, akhirnya mereka memutuskan untuk pulang ke istana kerajaan.